Minggu, 20 Juli 2014

“Puasa itu Hablum Min an-nas”


Musthofa Umar

Bismillahirrrahmanirrahim..
Hidup kita ada dua hubungan, yakni hablum min Allah (hubungan kita dengan Allah) dan hablum min an-nas (hubungan kita dengan manusia). Kadang ada yang menyebutnya dengan Hubungan Vertikal dan hubungan Horizontal. Nah kepada Allah tentu hubungan kita bisa terlihat dari enam (6) pondasi hubungan kita, yang selajutnya disebut Rukun Iman. Rukun Iman adalah keyakinan dan kepercayaan kita kepada Allah SWT, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Nabi dan Rosul utusanNya, hari Qiyamat dan Taqdir Baik serta Buruk hanya dari Allah SWT.
Kemantapan hati (yakin) akan enam (6) perkara ini merupakan kemantapan hubungan kita dengan Allah SWT. Selama kita meyakini Allah SWT tentu kita juga akan yakin dengan penciptaan dan ketetapan yang lainnya. Untuk mencapai keyakinan atau keimanan yang mantap, butuh proses panjang. Adapun proses pertama yang harus kita lalui adalah, menjadi Islam terlebih dahulu. Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dan tidak ada Nabi setelahnya, yang merubah peradaban Jahiliyyah (bodoh) menuju peradaban yang luhur, berbudaya dan beradab yakni membawa pemeluknya menjadi selamat. Karena adal kata Islam adalah salama (keselamatan).
Iman dan Islam sangatlah berbeda, kalau ditanya mana yang terlebih dahulu? Maka jawabannya adalah Islam terlebih dahulu. Islam mungkin mayoritas kita memeluknya, namun Iman belum tentu kita semua adalah termasuk orang-orang beriman. Islam belum tentu beriman, namun sebaliknya Iman sudah tentu Islam. sehingga beberapa syarat untuk melakukan amaliah ibadah sehari-hari syaratnya Iman, dan tidak disyaratkan Islam saja. Contoh amaliah ibadah yang kita lakukan saat ini yakni puasa Ramdhan. Dalam dalil naqli puasa itu, ayat 183 surat al-Baqarah  adalah mensyaratkan Iman. Sebagaimana difirmankan Allah SWT, yaa ayyuhalladzii na-amanu kutiba ‘alaykumushshiyamu kama kutiba ‘alalladzi namingqoblikum la’allakum tattaquun (Hai orang-orang yang beriman telah ditetapkan (wajib) atas kamu berpuasa, sebagaimana yang ditetapkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa).
Jadi amanu (beriman) adalah syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang hendak berpuasa. Artinya Islam saja tidak cukup untuk melakukan ibadah yang satu ini. sehingga banyak orang Islam yang tidak berpuasa, walaupun memang agama Islam dalam salah satu rukunnya adalah Puasa. Dikatakan Islam apabila melakukan rukun-rukun yang terdapat dalam Islam itu sendiri, dan rukun salah satunya adalah melakukan perintah puasa dalam bulan Ramdhan. Akan tetapi untuk melakukan puasa sendiri, harus ada tambahan iman (amanu) tadi. Karena di awal surat al-Baqarah pada ayat 2-3 Allah SWT sudah menjelaskan, hanya orang-orang yang berimanlah yang mendapat petunjuk taqwa itu.  Dan tujuan kita dipuasakan Allah SWT adalah untuk menjadi orang-orang yang taqwa, seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183 di atas.
Nah bagaimana dengan hablum min an-nas (hubungan dengan manusia)? Puasa, dikatakan adalah lebih kepada hubungan dengan manusia. Ini terlihat dari indikator keberhasilan puasa itu sendiri berpatok pada hubungan kita dengan manusia yang lainnya. Hubungan kita dengan saudara, tetangga, orang tua, guru maupun orang lain diluar agama kita (kafir zimmy dan musyrik). Karena Islam adalah rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi sekalian alam). Sedangkan manusia sendiri adalah pemimpin, kita semua adalah lahir dengan ‘beban’ amanah sebagai pemimpin. Dan setiap kepemimpinan kita nanti akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Apa yang kita pimpin? Tentu alam dan isinya, Islam yang harus memberi keteduhan (rahmat) bagi alam, adalah manusia yang menjalankannya, terutama umat Islam. bagaimana sikap dia dengan lingkungan, flora, fauna, udara, tanah, air dan manusia sekitarnya.
Manusia Islam (muslim) harus mampu merawat, memelihara, menjaga dan melestarikan isi alam yang luas ini agar bisa dinikmati oleh generasi-generasi selajutnya. Dan kalau ada manusia yang merusak alam, mereka secara langsung telah merusak nilai kepemimpinan mereka sendiri, mereka telah keluar dari kodrat mereka dilahirkan bumi oleh Allah SWT, seperti dialog Allah SWT dengan Malaikat, Syetan dan Iblis yang tertuang dalam al-Baqarah ayat 30-31, saat Allah SWT akan menciptakan manusia pertama yakni Nabi Adam As dan ditempatkan sementara di Syurga, sebelum diturunkan ke Bumi untuk menjadi pemimpinnya.
Puasa dan empat rukun Islam lebih dikatakan adalah rukun yang berhubungan dengan manusia sebagai indikator  keberhasilannya. Syahadat (kesaksian), dikatakan sah apabila disaksikan oleh manusia yang lain, sholat juga bertujuan untuk mencegah kita dari berbuat keji dan munkar. Zakat juga begitu, harus disalurkan pada sesama manusia, puasa yang kita jalani saat ini tidak jauh beda, indikator keberhasilan (pahala) puasa adalah berbuat baik dengan manusia. Dan haji ke baitullah di Mekkah-Madinah pun adalah syaratnya manusia yang lain, artinya tetangga tidak ada yang kelaparan, keluarga tidak ada yang kekurangan sandang dan pangannya baru orang tersebut dikatakan mampu (istito’ah) untuk melakukan ibadah haji.
Jadi puasa dalam pelaksanaannya, adalah imsyak (menahan) dari yang membatalkan puasa itu sendiri dan pahala puasanya. Yang membatalkan puasa, bisa kita lakukan mulai dari terbit fajar samapai terbenamnya matahari, waktu berbuka. Yakni dengan menjaga diri dari tidak makan, minum (atau memasukkan sesuatu ke tujuh (7) lubang), dan berhubungan dengan pasangan (halal) kita di siang hari bulan Ramadhan termasuk muntah dengan sengaja. Namun hal-hal yang membatalkan pahala puasa ini bisa sebulan penuh, siang dan malam. Dan pada perkara inilah tempat beratnya puasa, karena apabil kita tidak mampu menahan diri, maka bisa jadi pahala ibadah kita tidak ada. supaya pahala kita ada, ibadah puasa kita tidak jadi sia-sia, maka perlu diperhatikan hal-hal yang bisa membuat ‘batalnya’ pahala kita, sehingga ‘ganjaran’ Allah dengan Taqwa itu kita dapatkan.
Dan yang membatalkan pahala puasa ini, adalah berkaitan erat dengan manusia yang lain. Misalnya menggunjing, memfitnah, berbohong, berpikiran negatif pada orang, iri, dengki, hasud, adu domba, provokator, menjelekkan orang lain, menghina, membuat sakit hati orang, mencuri, merampok dan apa saja yang kaitannya dengan orang lain maka itu bisa membatalkan pahala puasa kita. Sehingga kesimpulannya, puasa adalah ukurannya diterima atau tidak oleh Allah SWT yakni bisa diterima oleh sesama atau hablum min an-nas (hubungan dengan manusia) kita tambah baik. Tetangga, saudara, orang tua, guru dan teman yang lain bisa menerima kita dengan tidak ada tapinya. Tambah sabar, tidak pernah membuat sakit hatinya, tambah jujur dan selalu empati, simpati pada manusia yang lain. Ini menjadikan manusia tersebut kembali fitrah (kejadian asli) sebagai pemimpin, pengayom, pember teduh (rahmat) pada sekalian alam. Wallohua’lamu bishhowab.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar