Senin, 14 Juli 2014

Pesantren di Puasaran Kultur dan Agama



Oleh : Musthofa Umar


Tulisan saya kali ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya dalam “Pendidikan Pesantren Bukan Alternatif”. Ingin memberikan pengetahuan utuh kepada pembaca agar memahami betul Pondok Pesantren, sehingga tidak ragu-ragu memasukkan putra-putrinya untuk menimba ilmu di Pesantren atau dalam mengelola Pesantren untuk kalangan Pondok Pesantren yang belum maksimal dalam menerapkan ‘pesantren ideal’ yang bisa bersaing dengan pendidikan-pendidikan umum negeri yang ada. Pondok pesantren mungkin sudah tidak asing lagi di negeri kita, karena begitu banyaknya pondok-pondok pesantren yang tersebar di nusantara ini. Namun, banyak dari pondok pesantren hanya tinggal kyainya (mudabbir) saja atau sebaliknya pondok pesantren hanya tinggal santrinya saja. Yang paling memprihatinkan banyaknya pondok pesantren yang hanya tinggal namanya saja.
Zuhairini (1997) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam menulis, sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Sebagaimana penuturan Dhofier (1985) Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia. Hasbullah (1999) dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, berpendapat memang ada beberapa orang yang membedakan antara pondok dan pesantren, namun sebenarnya hal itu sangat berkaitan erat. Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.
Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Ada pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Kompleks sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Dhofier (1985) mengatakan dalam  Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, bahwa sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.
Kalau kita lihat data terakhir 2007, jumlah pondok pesantren yang tersebar di seluruh nusantra dari data yang dikeluarkan sebuah situs, www.pondokpesantren.net sebanyak + 15.558 (lima belas ribu lima ratus lima puluh delapan) pondok pesantren dan dari jumlah ini,  tercatat sejumlah + 3.042.552 (tiga juta empat puluh dua ribu lima ratus lima puluh dua) putra dan putri baik santri yang mondok (mukim) ataupun santri yang colokan (Kalong). Sebenarnya apa dan bagaimana munculnya pertama kali istilah pondok pesantren itu? Imron Arifin, dalam bukunya, kepemimpinan kyai dalam perubahan manajemen pondok pesantren ksus ponpes Tebuireng Jombang, beliau menulis sejarah atau istilah pondok pesantren yakni : “...pada awalnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan dengan cara non-klasikal (sistem pesantren), dimana seorang kyai mengajar santri-santri (siswa) berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke-12 s.d. ke-16).”
Definisi singkat istilah ”pondok” adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Seperti anggapan Shofiyullah Mz, bahwa: “...perbincangan tentang pesantren mengingatkan kita akan peran strategis yang telah diembannya selama ini dalam memback up tumbuh   berkembangnya Islam di tanah air, khususnya pulau Jawa. Sehingga sangat   beralasan, bila kemudian pesantren tetap dicitrakan oleh   sebagian   masyarakat muslim kita sebagai institusi yang berorientasi   pada etos   keilmuan yang berbasis moralitas keagamaan..”. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sanskerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi.
Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni Santri, Kyai dan Asrama. Munib Huda Muhammad (1998) dalam Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab Sebuah Pergumalan Wacana dan Transformasi menulis, Kata pesantren juga berasal dari kata santri, bahasa lokal, yang kemudian diambil dan diberi makna yang menunjukkan kegiatan mencari ilmu dan melaksanakan ibadah.
Lain halnya dengan cerita tentang bagaimana pondok pesantren jaman wali songo. Sebuah kisah tentang salah satu wali songo, Sunan Ampel Surabaya dalam membangun pondok pesantren jaman tersebut. Seperti yang dituturkan KH. Muzakki Ridlwan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Sukorejo, saat menerima kunjungan beberapa pimpinan-pimpinan pondok pesantren se-Lombok Barat NTB. Saat itu salah satu perwakilan TGH (Tuan Guru Haji), gelar kyai di pulau Lombok, bertanya tentang bagaimana pondok pesantren di Jawa besar-besar dan banyak santrinya, KH. Muzakki Ridlwan menjawab singkat, “Kalau melihat sejarah berdirinya pondok pesantren jaman wali songo Sunan Ampel dulu, pondok itu dibangun setelah santrinya datang mengaji. Dulu Sunan Ampel kedatangan murid dari jauh dan untuk pulang takut akhirnya nginap (bermalam) di kediaman Sunan Ampel. Nah lama-kelamaan yang menginap kok semakin banyak, akhirnya Sunan Ampel membangunkan tempat menampung mereka, yang disebut pondokan. Semakin hari semakin banyak, bangunanpun bertambah, tidak seperti kita, bangunannya dulu jadi, megah baru memanggil santri”.
Kompleks sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti  memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain. Demikian halnya AM.Fatwa berpendapat, “Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara. Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fiqh, tasawuf, dan aqidah”.


Di asrama sebuah pondok pesantren kyai atau ustad lebih fokus dan leluasa untuk mentransfer segala macam ilmu untuk menjadi bekal santri-santrinya setelah pulang dan hidup di masyarakat kelak. Krena di asrama santri hanya dituntut untuk belajar segala macam ilmu tentunya yang bermanfaat untuk kemaslahatan agama, bangsa dan negara. Hal ini sangat berbeda jauh dengan yang bukan santri atau orang-orang yang tinggal di luar asrama, karena bisa saja begitu pulang dari sekolah dia akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan yang bermacam-macam, apalagi jika kontrol orang tua sangat lemah kepada anak-anaknya. Akan tetapi, di pondok pesantren, para santri hanya bergaul dengan lingkungan yang mendukung ke arah terciptanya sifat-sifat yang baik.
Arti sederhana pondok pesantren seperti yang dikatakan Dhofier yang dikutip oleh Imron Arifin dalam bukunya, bahwa : “Pondok pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe dan diakhiri dengan an, yang berarti tempat tinggal santri. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa, pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama untuk tempat tinggal para santrinya”. Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan besar muslim Indonesia membagi pesantren dalam karyanya ”Bilik-bilik Pesantren” terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus zaman, ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh gairah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas.  Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi.
Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren” menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Banyak dari kita yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan mutlak para santri pada kyainya, di sisi lain, tidak sedikit yang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Begitupula begitu besarnya sumbangsih pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.
Dalam sejarahnya, misalnya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali yang mana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.
Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy’ari atau Hadratus Syeikh, santrinya dari pesantren Tebu Ireng – Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Mekkah, KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran “pesantren moderen” seperti Pondok Gontor – Ponorogo. Alur ‘moderen’ ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.
Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M Natsir dan yang lebih penting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren. Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya. Hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.
Dalam kaitannya dengan issue terorisme di kalangan pesantren, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, pertama, mampukah dunia pesantren membumikan harapan-harapan tersebut dengan serangkaian upaya dan langkah, seperti yang dikatakan oleh Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes). Kedua, seberapa murnikah pendidikan pesantren tersebut mampu mempertahankan nilai-nilai (values system) yang diterapkan di pesantren itu sendiri, yaitu termasuk di dalamnya antara lain: pertama, prinsip tawâsuth yang berarti tidak memihak atau moderasi. Kedua, tawâzun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasâmuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil dan kelima tasyâwur atau prinsip musyawarah dan pancasila pesantren inilah nantinya menjadi bekal bagi para santri dalam proses bersosialisasi di masyarakat. Ketiga, benarkah pesantren sebagai tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme Indonesia?! Wallohua’lamu bishshowab...

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar