Senin, 14 Juli 2014

Pendidikan Pesantren Bukan Alternatif

Oleh : Musthofa Umar


Akhir-akhir ini, di daerah Jawa banyak orang yang malah memasukkan putra-putri mereka ke Pondok Pesantren, beberapa Pondok Pesantren penuh pendaftar, sebelum buka pendaftaran. Contoh misal di Pondok Pesantren tempat penulis menimba ilmu selama ini, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, pendaftar selalu membludak dari segala penjuru Indonesia bahkan Malaysia dan Brunai Darussalam. Di samping murah meriah, kegiatan extrakulikulernya banyak, sehingga para orang tua tidak segan-segan memasukkan putra-putri mereka ke Pondok Pesantren. Para orang tua tentu berharap kelak, putra-putri mereka mempunyai modal kuat dalam beragama, untuk menghadapi degradasi moral anak-anak bangsa saat ini. Namun lain halnya dengan NTB banyak Pondok Pesantren malah memperihatinkan kondisi santri-santrinya, apalagi di Kota Bima, banyak Pondok Pesantren malah diisi oleh anak-anak yang dari Kabupaten Bima walaupun tempatnya di Kota Bima. Entah karena para orang tua yang kurang resfek terhadap Pondok Pesantren, ataukah Pondok Pesantren yang kurang memberi magnet kepada masyarakat suapaya masyarakat tertarik memasukkan putra-putri mereka ke Pondok Pesantren.
Bulan Juni-Juli adalah bulan penerimaan siswa baru, tentu Pondok Pesantren dimanapun juga membuka pendaftaran santri baru. Nah kita sebagai orang tua, harus bijak dalam menilai pesantren sehingga tidak menganggap pendidikan pesantren adalah alternatif, sehingga hanya kita ‘lirik’ kalau anak kita tidak lulus atau tidak diterima di sekolah negeri. Sangat keliru kalau Anda berpikir seperti itu, pesantren di bawah naungan Kementerian Agama dan sekolah umu di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional tentu kurikulumnya sama, alumninya sama, kewajiban pendidikan dasar sama, dana bantuannya sama. Hal ini, jauh berbeda dengan 20 tahun yang lalu, pendidikan pesantren (agama) sangat dibedakan dengan pendidikan umum. Namun reformasi 1998 membawa berkah bagi lembaga-lembaga agama dan keagamaan.
Kondisi ini masih belum kita ‘membaca’ kenapa banyak anak-anak generasi Indonesia saat ini mengalami degredasi moral –rusak—karena kita selama ini terlalu menskreditkan pendidikan agama, memandang pendidikan agama dengan ‘sebelah mata’. Seolah-olah agama hanya ceramah, khutbah, ngaji al-Qur’an lalu anda bisa agama. Tidak seperti itu, mengaji agama penting, namun mengkaji kandungan agama, ini yang sering kita tidak paham. Dengan kondisi anak-anak bangsa yang saat ini seperti yang banyak kita saksikan di TV sudah saatnya Pondok Pesantren adalah jawaban dari semua masalah degredasi moral anak-anak bangsa Indonesia saat ini.
Kualitas memang penting, dari itu hendaknya Pondok Pesantren juga harus berbenah dalam hal demikian. Kualitas guru (ustadz/ustadzahnya) harus mampu bersaing dengan pendidikan umum atau agama negeri sekalipun. Fasilitas penunjang haruslah diberikan dan diperhatikan juga oleh pemerintah. Guru untuk mata pelajaran umum seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika dll pemerintah membagi rata penugasannya karena termasuk bagian dari pendidikan dasar yang wajib untuk anak bangsa. Dan kebanyakan Pondok Pesantren di NTB saya lihat kurang ‘peduli’ nya para pengambil kebijakan (pemerintah) untuk membenahi pendidikan-pendidikan agama di pondok pesantren (swasta). Kalau boleh kita contohkan di Jawa, kebijakan pemerintahnya luar biasa, dengan menugaskan beberapa guru negeri untuk mengajar di Pondok-pondok Pesantren, di samping fasilitas yang diberikan sama dengan yang diberikan kepada sekolah umum/agama negeri. Di samping usaha dan upaya Pondok Pesantren sendiri dalam meningkatkan daya saing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Inilah yang menyebabkan Pondok Pesantren di Jawa sangat timpang dengan Pondok Pesantren yang ada di NTB apalagi Kota Bima.
Perhatian masyarakatnya luar biasa, memasukkan anak-anak mereka ke Pondok Pesantren dan mendukung kegiatan-kegiatan Pondok Pesantren dalam bentuk amal jariyah, baik Infaq, Shadaqah, Hibbah, Wakaf dan Zakat. Dari sinilah Pondok Pesantren bisa hidup dan mempunyai semangat dalam mengembangkan pendidikannya. Sehingga pula Pondok Pesantren tidak terkesan ‘kolot’, kotor dan terbelakang. Banyak contoh Pondok Pesantren yang besar, modern dan menghasilkan alumni-alumni yang menjadi petinggi Negeri ini. misalnya Pondok Pesantren Moderen Gontor, Krapyak, Lasem, Jombang, dan lain sebagainya. Alumninya Hidayat Nur Wahid, Din Syamsuddin, Sa’id Aqil Siradj, Sa’id Aqil Al-Munawwar dan banyak lagi tokoh-tokoh Nasional kita yang alumni Pondok Pesantren. Jadi alumni dan kualitas keluaran Pondok Pesantren jangan dianggap remeh. Jika dikelola dengan baik dan kualitas, maka hasilnyapun akan berkualitas dan baik pula.
Reformasi dalam bidang pendidikan, harus diambil peran oleh Pondok-pondok Pesantren yang ada, untuk berbenah menyambut lembaga dan santri yang berkualitas. Mengupayakan dan mendorong pemerintah untuk tidak ‘menomer duakan’ Pondok Pesantren. Fasilitas yang diberikan ke lembaga umum negeri haruslah sama dengan yang diberikan kepada lembaga agama (swasta), sehingga persainganpun bisa seimbang. Promosi Pondok Pesantren, haruslah gencar oleh lembaga (yayasan) ataupun dibantu oleh pemerintah dalam hal ini (Kementerian Agama). Menjelaskan kepada masyarakat tentang sisi-sisi baik sebuah pendidikan di Pondok Pesantren. Bukan malah menjauhi lembaga Pondok Pesantren, malahan nanti kita akan terkena ‘adzab’ dari Allah SWT karena memandang Pondok Pesantren (Agama) adalah nomor dua. Kalau pendidikan Umum (Dunia) kita prioritaskan, makanya jangan salahkan kalau banyak anak-anak kita jauh dari Agama. Karena tempat mendapatkan ilmu Agama hanya dari Khutbah Jum’at, Pendidikan Agama yang 1-2 jam sekali seminggu di sekolah mereka, di keluarga malah orang tua mereka tidak  memahami Agama, lalu kemana mereka mendapatkan itu semua? Kalau tidak di Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren mempunyai tradisi sendiri, yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga di luar Pesantren. Kedisiplinan, kemandirian, persahabata, ketaatan, kesopanan, kebersamaan, kesederhanaan hanya bisa kita temukan di lembaga sejenis Pondok Pesantren. Para santri selalu dibimbing 24 jam oleh mudabbir/mudarris/murobbi mereka, baik di dalam kelas, ataupun di asrama mereka masing-masing. Merasa cukup dengan kepunyaan sendiri, tidak boleh berlebih-lebihan dengan cara pembatasan pakaian (tanpa perhiasan) yang harus di bawa ke asrama, jadwal makan, mandi, bersih-bersih halaman, sekolah dan mengaji serta sholat membuat mereka terlatih menjadi orang-orang yang disiplin tinggi. Jauh dari orang tua, keluarga dan tidak boleh pacaran, menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang mandiri dan berpendirian kuat. sistem wathonan dan sorogan membuat mereka selalu dibimbing oleh para asatidz dan asatidzah mereka. Bersama-sama dalam berjama’ah, baik makan, tidur, mandi, membersihkan halaman, dan sholat lima waktu sekaligus sunnah-sunnahnya membuat para santri menjadi pribadi yang selalu bersama-sama dalam persahabatan yang kuat.
Dari itu, penulis dalam beberapa kesempatan ke depan ingin mengangkat masalah pendidikan Pondok Pesantren yang mungkin belum kita pahami, baik dari sisi teori maupun pengalaman. Alhamdulillah penulis semenjak Tingkat Pertama (MTs) sampai pendidikan tinggi Magister (S.2) mendapatkannya di Pondok Pesantren. Dari itu saya akan membagi pengalaman itu, sebagai rujukan kita dalam memilih Pondok Pesantren untuk memasukkan putra-putri kita. Dan dari teori, tulisan saya ini adalah Tesis saat mengambil gelar Strata Dua (S.2) Bidang Manajemen Pendidikan Islam di Situbondo Jawa Timur pada tahun 2010 dengan judul tesis, “Peran Kyai dalam Peningkatan Prestasi non Akademik (Studi Kasus di Pondok Pesantren Nurul Amien Desa Dumberejo Kecamatan Sumbermalang Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur).
Islam dianugrahkan oleh Allah sebagai agama rahmatan lilalamin, yang dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat, bagi umat manusia pemeluk agama itu sendiri apabila dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan cara sungguh-sungguh. Karena sifatnya yang universal itulah maka, Islam menjadi agama dakwah, artinya agama yang menugaskan umatnya untuk menyebar luaskan dan menyiarkan kepada seluruh umat  manusia, dimanapun kita berada.
Materi dakwah yang mungkin sering kita ikuti dan dengarkan selama ini adalah mendorong kita untuk meningkatkan kesalehan bersifat personal yang meliputi ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, puasa, tadarrus, shalawat dan mempelajari agama Islam. Dengan ke-universal-annya Islam juga banyak mendakwahkan / mengajarkan / mendidik ummatnya untuk saleh sosial. Bahkan Islam tidak hanya kepada manusia kita saling hormati juga kepada alam. Kita lihat Firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 41, “Telah  tampak  kerusakan  di  darat  dan  di laut  disebabkan perbuatan tangan  manusia,  supaya  Allah merasakan kepada mereka  sebagian  dari (akibat)  perbuatan  mereka,  supaya mereka  kembali  (ke  jalan  yang  benar)”.
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan bertujuan untuk membudayakan manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia dimana manusia itu sendiri  adalah pribadi yang utuh dan kompleks sehingga sulit dipelajari secara tuntas. Karenanya pendidikan tidak akan pernah selesai, sebab pemahaman terhadap hakekat manusia itu sendiri senantiasa berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan. Sesuai dengan yang dikemukan oleh Emmanual Kant dalam bukunya  Zuhairini, Filasafat Pendidikan Islam  bahwa : "Manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan". Oleh karena itu perkembangan manusia mengikuti perkembangan zamannya, sudah barang tentu tidak akan pernah lepas dengan apa yang dinamakan ilmu pengetahuan. Pengetahun ini hanya diajarkan oleh Allah kepada mahkluk yang namanya manusia. Seiring dengan hal yang di atas Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi perjalanan hidup manusia telah memberikan konsep dasar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui baca tulis.
Pada masa pembangunan dewasa ini, tujuan pemerintah Republik Indonesia salah satunya adalah pembangunan dibidang pendidikan, seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab XIII pasa 31 yaitu : "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Tujuan ini diperjelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang isinya yaitu: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Pendidikan di negara kita pada saat ini diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan sehingga nantinya dapat memiliki pengetahuan yang luas. Untuk itu diperlukan upaya baik oleh sekolah, orang tua maupun siswa sendiri. Menurut Ki Hadjar, dalam bukunya Ki Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan bahwa, pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan suasana kekeluargaan itu disebut dengan sistem among. Selanjutnya para pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong. Guru atau Dosen bahkan Kyai tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa / santri sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari bahkan malam hari pun, seorang guru, dosen atau kyai harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa / santrinya.
Peran kyai dalam kegiatan pembangunan mental masyarakat tersebut, memang sangat menarik bukan lantaran pemimpin agama mempunyai predikat pewaris para nabi melainkan karena pada kenyataannya ia merupakan  manusia biasa yang benar-benar utuh yang berperan luas sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan masyarakat. Konflik dalam masyarakat akan menyebabkan aneka perubahan sosial Kyai pun mengalami pergeseran peran. Dari peran spesifik keagamaan menjadi general kemasyarakatan, dan menjadi kunci setiap pokok persoalan yang sedang dihadapi masyarakat lingkungannya bahkan di luar lingkungan kyai tersebut berada. Dari persoalan pendidikan, ekonomi, sosial bahkan persoalan ataupun terlibat langsung dengan urusan politik.
Kyai itu bukan cendikiawan yang seperti -ditamsilkan Arif Budiman- berumah di angin. Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam prihidup kyai, tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Yahya C. Staquf, dalam “Dekadensi Politik Kyai” , menulis, bahwa melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisanga, sosok kyai hadir terutama sebagai misionaris.  Dalam perkembangan kiprahnya  Muhammad Muhibbuddin, dalam “Kyai dan Do’a Restu Politik” menulis, kyai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen –oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur- dimana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkas-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari dan sering harus mengonsolidasikan mereka untuk “menghadapi dunia luar”. 
Kyai berdasar pada paradigma semiotika-strukturalisme Saussure, kata kyai adalah penanda (signifier) yang merepresentasikan makna (petanda / signified) tentang seorang yang alim dan cendikia dalam keilmuan keagamaan. Dari sisi semangat keilmuannya itu, seorang kyai adalah seorang intlektual atau cendikiawan. Sebagai seorang intelektual, tanggung jawab moral utama para kyai adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang mereka miliki.
Dengan keilmuannya itu, disimbolikkan sebagai lentera yang menerangi masyarakat. Perannya dimasyarakat diharapkan mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan (darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai sendi kehidupan. Di sinilah wujud pencerahan tersebut kyai membentuk lembaga-lembaga pencerahan atau pendidikan seperti madrasah-madrasah atau pondok-pondok pesantren. Dengan ciri demikian, dalam dinamikanya, pesantren dipandang mempunyai identitas tersendiri yang, oleh Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur, diistilahkan dengan sub kultur. Memang secara jujur harus diakui bahwa ada suatu “tradisi” tertentu yang tumbuh berkembang dimasyarakat pesantren, namun tidak demikian keadaannya di masyarakat luar pesantren.
Pesantren memang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai institusi keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan yang cocok dengan kondisi budaya bangsa kita. Oleh karena itu sangat wajar, bila kemudian pesantren banyak dilirik untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan alternatif dalam menghadapi kebutuhan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak tercabut dari akar historis keindonesiaan dan tidak berkurang efisiensi dan efektifitasnya. Dan seorang Kyai adalah pemimpin, memimpin lembaga seperti madrasah atau pesantren untuk lembaga dakwah dan pendidikan guna melakukan pencerahan dalam hal ilmu pengetahuan untuk syi’ar Islam ke depan, untuk membentengi generasi-generasi Islam umat Nabi Muhammad SAW ini selanjutnya.



Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar