Senin, 14 Juli 2014

Peran Kyai (Pimpinan Pondok) di Pesantren



Oleh : Musthofa Umar

Setelah  kemarin saya menulis tentang ’mengenal kyai’ dan sata ini secara umum tentang peran kyai dalam mengatur lembaga dan sistem yang berlaku di Pondok Pesantren. Membahas peran kyai, tidak lepas dari kepemimpinan dan manajemen yang diterapkan atau diberlakukan di sebuah lembaga. Baik itu sekolah, ataupun sebuah pondok pesantren. Memang, bisa dikatakan bahwa pada umumnya, kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama dalam bidang politik dan agama. Namun khusus masalah kepemimpinan Kyai, kita akan bahas dalam edisi yang lain.
Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari Dhofier yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai, Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa “sebagai suatu kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa (dan) merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.” Mengenai kepemimpinan Saratri Wilonoyudho berpendapat, pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan.
Sebaiknya seorang Kyai tidak masuk ke ranah politik atau pengurus-pengurus organisasi ’berbau’ perbedaan. Beliau, fokus untuk menangani dan mengayomi santri selama 24 jam non stop. Sehingga dengan begitu, seluruh kegiatan santri terkontrol penuh oleh beliu dan bisa membimbing lebih banyak waktu, dari pada sibuk dengan urusan lain di luar pondok pesantren. Dalam kondisi pondok pesantren yang serba terbatas, peran kyai sangat penting. Dalam hal pembinaan terutama, untuk mencapai hasil yang diinginkan, kyai langsung terjun dan terlibat penuh untuk memantau seluruh kegiatan ekstra (non akademik) di lingkungan pondok pesantren yang dibinanya. Kyai selaku pengasuh, berusaha agar pondok pesantren yang dipimpinnya unggul dalam segala bisang. Beliau adalah pemimpin cerdas dan visioner yang mampu membaca peluang kebutuhan masyarakat ke depan.
Hal ini di katakan Syafaruddin bahwa sekolah hanya akan maju bila dipimpin oleh pemimpin yang visioner, memiliki keterampilan manjerial, serta integritas kepribadian dalam melakukan perbaikan mutu. misalkan program wajib bahasa Arab dan Inggris, dalam satu kesempatan wawancara dengan beliau pernah menyampaikan kalau ke depan bahasa Inggris sangat dibutuhkan anak-anak santri untuk menghadapi pasar bebas. Dalam memimpin, Kyai harus dalam memimpin bersifat demokratis, berbasis santri. Memberikan kesempatan kepada bawahan dan santri beliau untuk berkarya dan selalu mengayomi kepada mereka yang dipimpinnya. Agustin mengatakan, bahwa pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai, memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya, selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten / istiqomah. Dan yang terpenting adalam memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah. Ketulusan hati beliau dan keuletan serta keistiqomahan beliau mampu menjalankan sebuah pondok pesantren sendirian, hanya dibantu oleh santri-santri dalam melakukan rutinitas kegiatan santri non akademik dengan pantauan Kyai, karena keterbatasan dana untuk mendatangkan guru / ustad yang membantu beliau mengayomi dan membina kegiatan-kegiatan santri.
Kyai harus mengarahkan santrinya ke dalam era baru, memerlukan pemahaman yang komprehensif akan dinamika perubahan dan mengelola perubahan itu sendiri. Dari itu, Kyai hendaknya melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan prestasi non akademik dalam mewujudkan pondok pesantrennya yang berprestasi yang kompetitif di berbagai bidang, yaitu bidang manajemen, kurikulum, siswa, guru, sarana dan prasarana serta hubungan dengan linkungan / masyarakat sekitar.
Peranan kyai kepada santri sangat dominan dan teraplikasi dalam kegiatan belajar mengajar pesantren, benar-benar terwujud pelaksanaannya yaitu sebagai berikut : (a) Pendidik dan Pembimbing, dalam hal ini Kyai langsung terjun mendidik santri sebagai top figur mengarahkan, membimbing santri dalam belajar. (b) Pemotivator, selain mendidik dan membimbing santri-santrinya kyai selalu memberikan suport / motivasi kepada santri agar selalu belajar dengan rutin, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan situasi terkini dalam masyarakat. (c) Peyandang Dana, jika keberadaan pondok pesantren dalam keadaan serba kekurangan karena tidak memilki sumber dana lain. Maka kyai sebagai pengelola dan pimpinan bertanggung jawab dalam urusan dana selain dana yang berasal dari santri untuk memajukan keberlangsungan proses belajar mengajar di pondok pesantren dengan cara pengelolaan baik mengedepankan faktor prioritas. (d) Pencari Nara Sumber / Pembina dan Pendukung, dalam mengantisipasi kurangnya SDM yang mumpuni untuk diasramakan agar bisa membantu kegiatan non akademik santri. Misalnya, Kyai mengutus beberapa santri senior untuk belajar privat ke para ahli masing-masing bidang. Sesekali waktu, kyai memang memanggil para tutor, seperti drama, MC, tulis menulis, sampai Qori’ untuk membina para santri di pondok pesantrennya. (e) Penyedia Sarana dan Prasarana, Kyai menyediakan tempat asrama, belajar mengajar serta sarana prasarana yang mendukung keberlangsungan aktivitas belajar mengajar di pondok pesantrennya. Baik dari dana yang dikelola maupun dari sumbangan-sumbangan donatur yang ada. (f) Koordinator Efektif, segala hal kegiatan di pondok pesantren langsung dikoordinatori oleh kyai langsung. Kyai sebagai koordinator akan selalu berkoordinasi dengan pengurus-pengurus yang lain dan juga santri-santri yang menjadi pengurus organisasi santri dalam memajukan prestasi non akademik di pondok pesantren.
Selain itu, Kyai harusnya menjadikan pondok pesantren sesuai dengan fungsi pesantren itu sendiri. Yakni pesantren sebagai transfer ilmu dan nilai agama telah diterapkan seperti yang diterapkan oleh kebanyakan pesantren-pesantren pada umumnya. Pondok Pesantren akan dijadikan sebagai lembaga yang berfungsi terhadap kontrol sosial dan rekayasa sosial secara keseluruhan. Para alumnus pesantren nantinya diharpkan mampu berkiprah di masyarakatnya, pemahaman agama yang dimiliki alumnus tentu diharapkan dapat di transformasikan dengan baik sesuai dengan kekhasan karakter sebuah pesantren. Kyai selalu berusaha agar kepercayaan masyarakat terhadap alumnus pesantren nantinya meningkat, kaitannya dengan kualitas kepribadian seorang santri. Kyai tidak mengutamakan kuantitas santri melainkan menitikberatkan pada kualitas santri-santrinya. Oleh karenanya posisi pesantren pada poin kedua, yakni fungsi terhadap kontrol sosial sedikit banyak nantinya mendapat tempat bagi kalangan masyarakat. Kyai berharap nantinya pesantren  dan para alumnusnya mampu menjadi panutan dan kiblat oleh masyarakatnya, baik itu urusannya dengan pemahaman keagamaan, kultur budaya, hukum dan politik dan lain-lain. Pembekalan pada wilayah ini memang harus menjadi prioritas pengasuh dan pengurus yang lain untuk bersama-sama, bagaimana seharusnya pesantren mampu menciptakan santri sebagai tokoh yang kreatif, inofatif, dan produktif Sekaligus sebagai motor penggerak untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Seperti yang di katakan KH. Musthofa Bisri dalam sebuah tulisannya, dengan membandingkan anggapan orang tentang pondok pesantren yang merupakan cikal bakal ”teroris” beliau mengatakan; ”...inilah yang merupakan tantangan utama kyai dan pesantren saat ini. Mereka --yang memiliki sanad, mata rantai keIslaman sampai ke Rasulullah SAW-- dituntut untuk tampil sebagaimana kyai dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW. Jangan sampai generasi kita dididik oleh mereka yang yang –sadar atau tidak, karena kepentingan atau kebodohan—justru ingin mencemarkan nama baik Islam dan merusak tanah air kita.
Peran dan prilaku kyai dalam memimpin pondok pesantren tidak jauh beda seperti psikolog, dokter dan penjaga restoran. Hal ini di sampaikan beliau dalam kesempatan wawancara beberapa waktu lalu, bahwa di pondok pesantren kyai, hanya memuaskan keingin para  orang tua, terhadap putra putri mereka agar dididik menjadi orang berguna dan sekaligus menyembuhkan segala ’penyakit’ psikologi yang dibawa dari rumahnya masing-masing.
Hal serupa di sampaikan oleh A. Haedar Ruslan dalam tulisannya, ”dalam kaitannya dengan perilaku yang tampak pada diri pemimpin, maka tidak terlepas dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin tersebut. Sebab antara perilaku dan sifat yang melekat pada seorang pemimpin tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian mempelajari perilaku pemimpin sama artinya dengan mempelajari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para psikologi dan pakar organisasi dalam mengkaji kepemimpinan dengan cara mengenali karakteristik sifat atau ciri-ciri pemimpin yang berhasil..”.
Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat yang dipimpinnya untuk menuju kebaikan bersama. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahat-ma Gandhi, Kemal Ataturk, Nepoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela dan seterusnya. Mereka bukan sekedar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. Pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan. Jika ini terjadi, dia masih dalam kategori apa yang disebut Francis Fukuyama sebagai the first man, manusia yang hanya butuh petunjuk secara otoriter, yang berbeda dengan kategori the last man yang sudah mementingkat harkat dan martabat.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar