Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M.Pdi.
Rabu, 14 Nopember 2012 kemarin, pada malamnya umat Islam di
seluruh dunia memperingati pergantian Tahun Hijriyah. Perhitungan 1 Muharram, terhitung
sejak matahari tenggelam, tidak seperti hari atau tahun Masehi, pergantiannya
pada pukul 00.00. Hijriyah sendiri, didasarkan pada peristiwa hijrahnya
Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Pergantian tahun 1433 ke 1434 berjalan
sederhana, di Kota Bima sendiri hanya diisi dengan pawai dan tabligh akbar oleh
PHBI Kota Bima di Paruga Nae. Itulah budaya Islam sesungguhnya, damai dan
sederhana. Lain halnya dengan pergantian tahun Masehi, 1 Januari sering
dimeriahkan dengan hura-hura dan terkesan negatif.
Berbicara
Hijriyah sendiri, memang tidak akan lepas berbicara pribadi Muhammad Rasulullah
SAW. Dan berbicara Muhammad adalah berbicara tentang islam yang dibawakan
beliau untuk kita umatnya. Sosok Muhammad Rosululullah, tak hanya sukses dalam
bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang
kehidupan. Kepribadian Muhammad, sangatlah luas, beliau
seorang pahlawan, ekonom/pembisnis, negarawan, orator/diplomat
handal, reformer, yatim piatu yang mandiri, pelindung
budak dan kaum marginal saat itu yakni perempuan. Bukan
hanya itu, Muhammad adalah Hakim yang adil, dan tentara serta pendidik yang baik.
Keperibadian
Muhammad SAW ini, Allah SWT menegaskan
hal demikian dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.” Wujud dari uswah hasanah selain terdapat di dalam
Al-Qur’an, juga melalui sunahnya. Sunah atau hadis adalah keseluruhan dari
kehidupan Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun
himmah atau cita-citanya yang belum terwujud.
Kredibilitas
Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya
sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, pencitraan
Muhammad SAW sempat membuat panas umat Islam di seluruh dunia, beberapa waktu
lalu yang dilakukan oleh Sutradara Anonim Sam Bacile, yang membuat film
Innocence Of Muslims. Inisama dengan apa yang dilakukan oleh Greet Wilder,
politisi asal Belanda ini tahun 2008 membuat Film bertajuk FITNA. Semua ini bentuk serangat umat lain, yang
sangat membeci Rasulullah SAW secara pribadi dan Islam ajaran yang beliau bawa
secara umum. Akan tetapi, terpaan-terpaan yang menimpa Islam, tidak membuatnya
surut atau kehilangan umat. Justru Islam semakin solid untuk bersatu melawan
praktek-praktek Zionis menghina Islam dan Rasulullah SAW.
Secara
historis, peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para
sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut
al-Madinah al-Munawwarah mengandung beberapa makna untuk kita ambil; Pertama,
perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah
merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat
berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam
yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju
suasana yang prospektif di Madinah.
Hal
tersebut bisa dilakukan umatnya saat ini, terkadang seseorang melakukan Urbanisasi
(perpindahan penduduk dari desa ke Kota), atau bahkan Transmigrasi (perpindahan
penduduk dari pulau satu yang padat penduduknya, ke pulau yang jarang
penduduknya). Semua ini dilakukan orang dengan tujuan mencari sesuatu yang beda
dari sebelumnya, atau tempat tinggal sebelumnya. Tentu berpidahnya lokasi
seseorang, tidak hanya pindah tempat tinggal saja, melainkan pindah pola pikir,
pindah pekerjaan, pindah cara-cara lama ke arah cara-cara baru yang lebih baik.
Dan Islam di tanah air Indonesia kita ini pun, penyebarannya tidak lepas dari
proses hijrahnya beberapa waliyullah, habaib, dan para ulama’ dari Arab
menyebar ke semenanjung Asia termasuk Indonesia dengan berbagai cara, baik
berdagang, pernikahan ataypun akulturasi budaya.
Kedua,
Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa
opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada
yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik. Rasulullah
s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah,
meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda. Ketiga,
Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin
dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa
kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Hijrah
atau berpindah, seperti yang saya tulis di atas, adalah semangat ingin berubah
ke arah yang lebih baik. Dan terkadang perubahan itu, tidak semulus yang kita
bayangkan dan rencanakan. Tidak jarang, seseorang akan mengalamai berbagai
cobaan, dan kesulitan atas apa yang diusahakannya. Apalagi sesuatu itu hal yang
baru baginya, belum lagi tempat tinggal yang baru. Dari itu diperlukan rasa
optimisme yang kuat, jika ingin tercapai tujuan. Dari rasa optimisme inilah
nantinya akan menjadi semangat kita, untuk mewujudkan kinginan itu. Berubah,
tentu seperti yang disabdakan Rasululllah SAW adalah berubah dari kemarin jelek
menjadi lebih baik pada saat ini, bukan sebaliknya.
Nah
pertanyaanya, apakah sampai tahun 1434 Hijriyah sudahkah kita melakukan
ajaran-ajaran yang Muhammad Rasulullah bawa dengan sempurna? Atau kalau tidak
kapan kita akan melakukan perubahan (hijriyah) itu? Pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus
identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin waktu itu, tetapi pemaknaan hijrah lebih
kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti
seperti ini tidak akan pernah berhenti Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada
seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru
saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir,
Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga
terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit
dari sebelah barat”.
Momentum Muharram harusnya
dijadikan untuk introspeksi dan muhasabah diri. Karena tuntutan Islam adalah
setiap pergantian tahun, haruslah berusaha lebih baik dari tahun kemarin. Hal
ini berangkat dari hadits Rasulullah, bahwa orang yang beruntung adalah yang
memaknai hari atau pergantian tahun, lebih baik perkerjaannya dari tahun
kemarin. Dan sebaliknya, orang yang melakukan pekerjaan yang lebih jelek dengan
tahun sebelumnya, adalah termasuk orang yang merugi. Dan untuk mengetahui,
apakah pekerjaan kita kemarin buruk atau tidak, tentu dengan cara introspeksi
dan muhasabah diri. Dari hasil introspeksi dan muhasabah diri inilah yang akan
menjadi barometer kita untuk kearah lebih baik.
Harapan ini tentu bertolak
belakang, dengan judul opini saya kali ini. Muharaam seharusnya menjadikan umat
kelebih baik, ternoda dengan pemeritaan beberapa media tanggal (17/11) kemarin,
bahwa ada kontes waria di Jatiwangi. Dan beberapa kalanganpun angkat bicara,
tentang kontes yang tak lazim di Kota Bima ini. Untuk meluruskan opini kita
tentang waria, alangkah lebih baiknya kalau kita sedikit mengetahui siapa dan
bagaimana waria itu? Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang waria?!
Waria adalah singkatan atau
sebutan dari wanita pria. Istilah ini kadang juga disebut wadam, banci,
bencong, banthu, wandhu atau tepatnya pria yang dianalogkan dengan prilaku yang
gemah gemulai, lembut dan kewanita-wanitaan. Perilaku waria terkadang
dibuat-buat (akting), dan ada juga yang memang bawaan lahir (gen). dalam
kompilasi hukum Islam, memang istilah Banci ada juga, akan tetapi banci dalam
islam adalah seseorang yang lahir dengan dua kelamin sekaligus. Sehingga
penentuan hukumnya tergantung pada kelamin apa yang mendominasi atau tumbuh
besar.
Waria yang saat ini kita lihat,
jarang ada yang berkelamin dua sekaligus, akan tetapi terbentuk akibat
lingkungan tempat dia tinggal dan bergaul. Dan waria masuk dari kategori
gangguan psikologi dan penyakit sosial. Sehingga dibeberapa wilayah, sering
kita jumpai penjaringan waria atau razia terhadap waria. Dikategorikan gangguan psikologi, karena
prilaku yang ditimbulkannya. Waria sering berdandan untuk menarik minat
pasangan sejenisnya. Mencintai dan berhubungan dengan sejenis, dalam istilah
gangguan sexual/psikologi disebut homo. Jenis homo dikategorikan kedalam dua
bentuk, husus laki-laki disebut gay dan perempuan disebut lesbi. Dari sinilah
Islam melarang bentuk atau praktek waria.
Praktek homo sudah dikenal dalam
sejarah Islam sejak zaman Nabi Luth, dan untuk waria sendiri, pada zaman
Rasulullah SAW praktek seperti ini sudah ada, sehingga menyebabkan Rasulullah
mengeluarkan hadits, “Laknat atas laki-laki yang menyerupai perempuan dan
sebaliknya”. Dan waria adalah laki-laki
yang menyerupai perempuan. Berprilaku waria, sebenarnya membuat diri terbatas. Baik
pada keluarga, maupun lingkungannya. Hal ini dinyatakan oleh Oetomo (2000)
dalam penelitiannya menyebutkan, berprilaku waria memiliki banyak resiko. Waria
dihadapkan pada berbagai masalah penolakan keluarga, kurang diterima atau
bahkan tidak diterima secara sosial. Dianggap lelucon, hingga kekerasan baik
verbal maupun non verbal dihadapi waria. Penolakan terhadap waria juga
dilakukan oleh masayarakat strata sosial atas.
Nah ini menunjukkan betapa waria
menjadi masalah berkepanjangan di masyarakat. Dampak lain adalah status ibadah
mereka, apakah mengikuti cara ibadah laki-laki atau perempuan, padahal mereka
laki-laki. Dari itu Agama sagat melarang, dari segi kesehatan juga jelas
menjadi tidak sehat dengan kehidupan sembunyi-sembunyi, keluar malam dan
terkesan ngatif ke arah penyakit masyarakat. Jika terindikasi penyakit
masyarakat maka ini kewajiban Satpol PP untuk mentertibkannya. Jika Penyakit
Psikologi akibat Depresi, Stress dan gangguan-gangguan kejiwaan lain, pihak
pemerintah dan rumah sakit berkewajiban untuk memberantas ini denganc ara
dihadirkan psikolog-psikolog yang bisa membawa mereka sadar ke jalan yang benar
kembali. Dan tugas kita semua, untuk mencegah dari yang munkar. Tentu Kota Bima
tidak ingin menjadi atau mengulang sejarah Nabi Luth dan kaumnya yang di balik
tanah kelahirannya atau tempat tinggalnya, dari atas menjadi bawah dan yang
bawah menjadi atas. Na’udzubillahimindzaalik…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar