Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
Beberapa hari kemarin, kita dikejutkan oleh
kejadian yang sangat membuat keprihatinan kita semua. Bagaimana tidak, konflik
antar satu komunitas, satu suku, satu agama terjadi di kota Bima yang slogannya
adalah kota “BERTEMAN”. Konflik yang
terjadi antara Kampung Sumbawa dan Tanjung, terjadi dibulan Muharram, yang
seharusnya dijadikan bulan muhasabah dan introspeksi diri, mempererat
persaudaraan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, saat Hijrah 1434 tahun yang
lalu, dengan membawa kaum Muhajirin dari Kota Mekkah dan dipersatukan dengan
kaum Anshor di Madinah. Sebeulm saya mengajak pembaca untuk menuju judul opini
saya, alangkah baiknya kita mengetahui beberapa pandangan orang tentang hakekat
dan konflik itu sendiri.
Hakekat konflik adalah orang-orang dan
kelompok dalam lingkungannya mengembangkan keahlian dan pandangannya yang
berbeda tentang pekerjajan/tugasnya dan pekerjaan/tugas kelompok lain. Ketika
interaksi diantara mereka terjadi maka konflik menjadi potensial untuk muncul.
Konflik dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Dapat mendorong
inovasi, kreativitas,dan adaptasi. Sekalipun beberapa konflik yang terjadi
bermanfaat bagi kemajuan, akan tetapi konflik yang sering terjadi muncul
kepermukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik yang seperti
ini dapat menurunkan kohesivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan
ketegangan.
Ada beberapa pandangan tentang konflik,
yang pertama adalah disebut Pandangan Tradisional, yakni menganggap
bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari,
konflik dilihat dari hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya
komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan diantara individu, dan
kegagalan pemimpin untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi anggota.
Lalu yang kedua adalah disebut Pandangan Aliran Hubungan Manusiawi, yakni
menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami
dalam setiap komunitas, kelompok ataupun organisasi. Pandangan ini menyadari
bahwa konflik tidak dapat dihindari, dan menganggap bahwa ada kalanya konflik
bermamfaat bagi kemajuan.
Dan ketiga
adalah disebut, Pandangan
Interaksionis, yakni jika pandangan hubungan manusiawi menerima keberadaan
konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang
harmonis. Tidak adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan organisasi menjadi
statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
Sumbangan utama dari pandangan yang interaksionis adalah mendorong pemimpin
untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan
semangat dan kreativitas.
Nah itulah beberapa pendapat tentang
terjadinya konflik. Kita kembali ke konflik yang terjadi di Kota Bima, harusnya
ini tidak akan terjadi apalagi hanya persoalan sepele. Kenapa bisa begitu? Coba kita lihat struktur penataan Kota
Bima, selain slogan BERTEMAN entah dengan konotasi yang lain, tapi yang jelas
saya mengartikan BERTEMAN adalah antara masyarakat/suku yang lain tidak bisa
terpisahkan seperti sebuah PERTEMANAN/PERSAHABATAN. Persahabatan atau
Pertemanan bagai sebuah saudara, yang mana persaudaraan yang diajarkan
Rasulullah SAW ibarat satu tubuh, satu yang sakit maka seluruhnya menjadi
sakit. Kota Bima juga indah dengan
penataan alun-alun kota (lapangan) ditengah, sebelah Timur Kediaman Raja, dan
sebelah Barat Masjid Sultan Salahuddin yang mengisyaratkan kita bahwa, antara
satu dan lainnya harus bergandengan. Lapangan adalah gambaran masyarakat
(Rakyat), kediaman Raja menggambarkan Pemimpin/Tokoh Masyarakat (Umara’) dan
Masjid adalah gambaran Tokoh Agama (Ulama’).
Di samping itu, kita juga masih ingat
pembinaan Toga/Toma yang dilakukan Kementerian Agama Kota Bima 29 September
2012 lalu, yang dipusatkan di Lesehan Putri kota Bima. Di mana dalam pertemuan
ini dibahas, bagaimana mencegah terjadinya konflik antara satu agama dan agama lain, satu suku
dengan suku lain, dan termasuk konflik internal antara satu agama, satu pemahaman,
satu individu dengan individu lainnya.
Dalam sebuah masyarakat tentu ada TOMA (Tokoh Masyarakat) dan TOGA
(Tokoh Agama). Jika melihat pandangan Tradisional tentang konflik diatas,
adalah akibat kurang komunikasinya pemimpin maka konflik internal bisa terjadi.
Masyarakat adalah dipimpin toga dan toma
setempat, merekalah sebagai rujukan masyarakat dalam menyelesaikan
permasalahannya. Cobalah kita eratkan kembali hubungan pemimpin, hubungan
ulama’ dengan masayarakat. Jangan hanya saat kampanye saja, seorang calon
pemimpin blusukan (masuk gang ke
gang) mencari masyarakat/rakyat. Lalu setelah itu tidak merakyat kembali.
Ketiga Instrument ini (rakyat, umara’ dan
ulama’) harusnya bersinergi. Bukan timpang salah satu. Rakyat hanya dekat
dengan ulama’ tapi jauh dengan umara’ (pemimpin). Atau sebaliknya, rakyat dekat
dengan pemimpin, namun ulama’ (toga) nya acuh tak acuh. Nah kalau ini terjadi
maka wajar konflik cepat terjadi di masyarakat. Mudah-mudahan ke depan, antara
pemimpin, ulama’ dan rakyat bisa mengintensipkan komunikasi bergandengan tangan
seiring sejalan, bagai Kediaman Raja, Lapangan Merdeka dan Masjid Sultan
Salahuddin, sehingga konflik seperti ini tidak akan terjadi kembali.
Wallohua’lamubisshawab….
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian
Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar