Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
Dari beberapa hari, saya membaca sebuah seruan, “mari menjadikan
Kota Bima kota pendidikan” mudah-mudahan tulisan saya ini, bisa lebih
mempersiapkan kota tercinta ini sebagai kota yang benar-benar bila perlu
menjadi rujukan Indonesia bagian timur. Tentu ini bukan pekerjaan mudah, dan
harus kompak seluruh elemen masyarakat dan pemerintah termasuk guru dan wali
murid. Kejadian baru-baru ini mutasi guru yang menurut beberapa pengamat,
kurang “manusiawi” adalah bentuk ketidak siapan sebagian kita untuk mewujudkan
Kota Bima ini menjadi Kota Pendidikan. Benahi dulu itu, karena 8 aspek
pendidikan itu harus terpenuhi, terutama adanya tenaga pendidik yang sesuai
dengan “kenyamanan” mereka dalam menyampaiakan materi ajar.
Tentu masih kita ingat kejadian menjelelang Hari Pendidikan Mei 2011,
SMAN 2 Kota Bima yang mengadakan perpisahan sekolah? Nah itu juga sebuah PR
(Pekerjaan Rumah) insan-insan pendidikan di Kota ini untuk mencapai tujuan
bersama itu. Termasuk yang terbaru
beberapa hari kemarin, Video Mesum di duga salah seorang siswi SMK dan
Mahasiswa di Kota Bima, kenapa bisa terjadi?! Coba kita telaah bersama
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan
Nasional kita dalam Pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan butir ke
6 jelas dikatakan bahwa, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan.
Memang sekolah adalah pelaksana pndidikan namun tugas mendidik
bukan hanya Pak Guru atau Ibu Guru di sekolah saja, tapi semua komponen
masyarakat. Rata-rata proses belajar mengajar di sekolah berlangsung 6-7 jam
saja sehari, dan kita hidup 24 jam sehari. Untuk istirahat mungkin 7-8 jam
saja, sisanya 9 jam anak didik kita bersama siapa? Tentu kita sepakat, mereka
bersama keluarga, teman dan masyarakat lingkungannya. Kalau kita bandingkan,
proses belajar mengajar 7 jam dengan seabrek Mata Pelajaran yang mereka
harus serap saat itu sangat tidak mungkin untuk sempurna. Belum lagi masalah
psikologi mereka, di rumah ada masalah dengan keluarga, teman bahkan pacar. Di
sekolah terkadang timbul masalah dengan Guru, teman sekolah, dan Mata Pelajaran
yang mereka tidak sukai.
Dari sini para orang tua plus masyarakat lingkungan siswa
harus mengambil peran penting, dalam menjadikan anak didik berprilaku sesuai
dengan tuntutan pendidikan bahkan tuntutan masyarakat. Seorang Psikolog asal
Bali, Dewe Putu Arta mengatakan, “menjadikan anak pintar / baik tidak cukup 1-2
guru, akan tetapi orang sekampung”. Pelajaran yang mereka terima terkadang
terlupakan setelah mereka pulang karena asyiknya main bersama teman-temannya di
rumah. Dan sebaik apapun pendidikan yang diberikan di sekolah, tapi kalau
sampai di rumah atau lingkungan masyarakatnya, mereka anak didik kita melihat
langsung sesuatu yang beda, maka secara tidak langsung mereka belajar dengan
sendirinya.
Dan sekarang kita pertanyakan diri kita masing-masing, sudahkah
kita memberikan lingkungan yang mendidik bagi mereka? Ini baru dari lingkungan,
belum dari keluarga, dan media termasuk Internet dan televisi. Pernahkah kita
menemani putra-putri kita saat menonton TV atau sekedar bertanya siapa
teman-teman bergaul mereka? Atau sejauh mana penyerapan mereka terhadap
pelajaran yang dijarakan di sekolah? Mungkin ada, tapi jelas tidak semuanya.
Saya sepakat dengan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional akhir-akhir ini. Pemerintah tidak
mengukur kelulusan hanya dari Ujian Nasional. 60 % dari hasil Ujian Nasional
dan 40 % dari Mata Pelajaran / Ujian Lokal. Bisa jadi 40% adalah Hidden
Curicullum yang diterapkan masing-masing lembaga pendidikan. Hidden
Curicullum atau kurikulum tersembunyi pertama di ungkap oleh John Dewey mengeksplorasi kurikulum tersembunyi dalam
penelitiannya di awal abad 20, khususnya dalam buku klasiknya Democracy and Education. Dewey melihat
pola dan kecenderungan yang berkembang di sekolah yang menyandarkan diri pada perspektif
pro-demokratis.
Kembali masalah Kurikulum Tersembunyi di ungkap oleh Philip
W. Jackson dalam bukunya Life In Classrooms tahun 1968. Ia mengemukakan
argumen pentingnya pemahaman pendidikan sebagai proses sosialisasi. Segera
setalah tulisan Jackson itu terbit, Benson Snyder mempublikasikan buku The
Hidden Curriculum, yang mengajukan pertanyaan tentang mengapa siswa -
bahkan atau terutama yang berbakat - menjauhi pendidikan. Snyder menyokong
pendapat bahwa kebanyakan konflik kampus dan kecemasan siswa disebabkan oleh
sejumlah norma akademik dan sosial yang tidak dinyatakan, yang menghalangi
kemampuan siswa untuk berkembang secara mandiri atau berpikir secara kreatif.
Adapun fungsi Kurikulum Tersembunyi Menurut Elizabeth Vallance,
bahwa mencakup "penanaman nilai, sosialisasi politis, pelatihan
dalam kepatuhan, pengekalan struktur kelas tradisional-fungsi yang mempunyai
karakteristik secara umum seperti kontrol sosial." Kurikulum tersembunyi
dapat juga diasosiasikan dengan penguatan ketidaksetaraan sosial, seperti
terbukti dalam perkembangan hubungan yang berbeda terhadap modal yang berdasar
pada jenis kerja dan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang
diterapkan pada siswa jadi berbeda-beda berdasarkan kelas sosialnya.
Manusia hidup social, artinya manusia tidak biasa hidup
sendirian tanpa orang lain. Dan nilai-nilai social itulah yang kita wariskan
secara tidak langsung pada putra putrid kita. Mereka belajar dari sana, cara
bergaul, berpakaian, dan memahami orang lain. Tingklah laku dan prilaku orang
tua, pendidik, dan putra-putri kita adalah hasil dari kurikulum tersembunyi
ini. Hal itu memang tidak diajarkan secara formal, secara oral namun dengan uswah
atau contoh yang baik. Bukan kah Nabi kita Muhammad SAW juga menitik
beratkan harga manusia pada budi pekerti / akhlaknya? Oleh karena itu, sebagai
pendidi, entah itu di Sekolah, Rumah atau Lingkungan Masyarakat. Apakah itu Pak
/ Ibu Guru, Orang Tua atau Teman, hendaknya tunjukkan sesautu yang benar-benar
pantas jadi Guru (di gugu dan di Tiru) oleh anak-anak didik kita. Jadi jika
kasus di SMAN 2 Kota Bima adalah sebuah kegagalan, itu berarti kegagalan kita
semua. Wassalam.
Bagian Penyuluh Agama Islam di Kantor Kementerian Agama Kota Bima. Dan anggota PHBI
Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar