Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
Melirik sejarah Bangsa ini, tidak lepas dari peran kaum muda waktu
itu. Tidak terhitung lagi, berapa darah para syuhada’ telah tertumpah untuk
membangun negeri ini. Tiga ratus lima puluh tahun atau tiga setengah abad,
negeri yang selanjutnya bernama Indonesia ini, diporak-porandakan penjajah,
baik Belanda, Inggris dan Amerika serta sekutu-sekutunya. Termasuk Jepang pada
awal tahun 1942 sampai tahun 1945. 17 Agustus 1945 Proklamator kita, Ir.
Soekarno dan Hatta, memproklamirkan Indonesia Merdeka. Akan tetapi, 1945
bukanlah akhir penderitaan rakyat Indonesia, melawan penjajah.
Lihat saja, setelah perjuangan panjang para pejuang kita, sampai
Agustus 1945. Kembali pada tanggal 20 Oktober 1945 di Ambarawa terjadi
pertempuran lagi. Sehingga peristiwa waktu itu dikenal dengan istilah Palangan
Ambarawa. Begitu juga setahun setelah kemerdekaan di proklamirkan, kembali kedaulatan
Bangsa ini, coba untuk dirong-rong kembali. Di Bandung, pada tanggal 23 Maret
1946, terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia dan Belanda, yang selanjutnya
terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api. Dari Bandung, peristiwa yang sama
terjadi kembali pada Nopember tanggal 20 1946 di Tabanan Bali. Para pejuang muda kita, di bawah
komando Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang dikenal dengan Pertempuran Puputan
Margarana, berjuang mempertahankan kedaulatan Bangsa yang sudah dinyatakan
medeka ini.
Dan tentu ingatan sejarah kita masih segar, setahun sebelumnya dari
peristiwa di Bali, 10 Nopember 1945 pertempuran yang sama terjadi di Surabaya.
Bung Tomo menyemangati kaum muda “arek-arek suroboyo” menyerbu markas Belanda,
dan naik di atas Hotel Yamato yang saat ini dikenal dengan nama Hotel Majapahit
di Jalan Tunjungan nomor 56 Surabaya saat ini. Dan peristiwa ini menjadi penetapan
Hari Pahlawan Nasional. Walaupun Bung Tomo sendiri berikut Soekarno dan Hatta
baru-baru ini mendapat gelar Pahlawan Nasional, setelah 67 tahun Bangsa ini
beliau proklamirkan merdeka. Di atas Hotel yang terkenal juga pada waktu itu
bernama Oranje Hotel (Hotel Oranye), Bung Tomo merobek kain bendera warna biru,
sehingga merah-putih berkibar gagah perkasa. Walaupun sebenarnya, pada tanggal
31 Agustus 1945 Maklumat Pemerintah pada waktu itu, menetapkan tanggal 1
September 1945 Bendera Nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh
wilayah Indonesia.
Perjuangan rakyat Indonesia belum tuntas sampai di sana. Tahun 1949
di Yogyakarta juga terjadi perebutan kekuasaan, yang dikenal dengan Serangan
Umum 1 Maret. Termasuk tahun 1965 peristiwa G.30 SPKI. Begitu panjang derita
bangsa ini, baik sebelum 1945 ataupun sesudahnya. Dan perjuangan demi
perjuangan para pahlawan kita ini, kalau kita lihat lebih banyak melibatkan
generasi muda. Dari peristiwa Soempah Pemuda 28 Oktober 1928, para pemudalah
yang banyak menyumbangkan kemerdekaan pada bangsa ini. Termasuk di Dana Mbojo sendiri, dalam tulisan Tajib
tahun 1995 dan tahun 1999, beliau menceritakan perjuangan Laskar Bima melawan
belanda dan juga melawan Jepang pada tahun 1942 hingga 1945. Dan pertanyaan
kita selanjutnya, apakah generasi muda saat ini sudah mewarisi nilai-nilai
kepahlawanan para pahlawan kita?! Atau cukup dengan tawuran, miras, narkoba,
dan video mesum?!
Al-qur’an sangat menganjurkan kita untuk selalu bersyukur atas
segala bentuk nikmat yang diberikan-Nya. Dalam Firman Allah SWT surat Ibrahim
ayat 7 dikatakan, “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku kan menambah
nikmat kepadamu, tapi jika kamu mengingkati nikmat-Ku maka pasti adzab-Ku
sangat berat”. Berangkat dari ayat ini, bentuk syukur apakah yang pernah kita
perbuat, dalam berbangsa dan bernegara yang dahulu mereka pertahankan dengan
pengorbanan yang luar biasa, sehingga kita bisa menikmati dengan segar udara
kemerdekaan di Negeri ini. Coba kita renungkan sejenak, warisan yang mereka
tinggalkan ini.sudah kita rawat dengan baik, atau kita mau hancurkan kembali pelan-pelan?!
Dan sejauhmanakan kiranya penghayatan akan arti dan makna dari kepahlawanan
bagi generasi muda sekarang ini?! Suatu pertanyaan untuk dijawab dengan tidak
begitu mudah, belum lagi dengan semrautnya keadaan dewasa ini utamanya
menyangkut terhadap apa yang dikatakan orang bahwa krisis terhadap nilai-nilai
kepahlawanan itu sendiri terasa bagi kita bersama. Dan kita tidak jarang
menangkap kegelisahan generasi muda, mereka dalam keadaan bingung dan
bertanya-tanya, nilai-nilai apa yang sebenarnya kini sedang berlaku, mengingat
tingkah laku dari para pemimpin, yang dikatakan sering berbeda antara ucapan
dan perbuatan, memberi janji tanpa ditaati dan terjadi hal-hal yang cenderung
mengabaikan aturan permainan
Kesemuanya itu berbaur dalam alam kemerdekaan kita sekarang ini dan
lebih dari itu sangat terasa pada apa yang kita sebut dengan “kejujuran”
sering sebagai salah satu ciri khas kepahlawanan telah merupakan barang
komoditi moral yang lagi ambruk, kejujuran adalah klise yang tak pernah kadaluwarsa. Tapi kejujuran itu semakin kian
menipis dan terasa langka adanya justru saat ini kita sangat memerlukan sebagai
landasan moral dari suatu tanggung jawab pembangunan karakter bangsa. Begitu
kadang-kadang keras orang-orang mengadakan perbandingan, dengan mengatakan, “yang
jujur terkubur, yang sabar terkapar dan terlantar”, apakah telah sedemikian semerautnya
keadaan masyarakat kita dewasa ini, oleh desakan kemajuan teknologi yang
menuntut manusia untuk berpacu dalam segala keadaan dan waktu?!.
Ada empat karakteristik orang dikatakan pahlawan. Pertama, Berani. Artinya, sifat berani
dalam hal menegakkan kebenaran. Berani tidak identik dengan nekat, akan tetapi
berani masih bisa berpikir jernih untuk melakukan tindakan. Dia akan berpikir
dampak yang akan timbul jika melakukan sebuah perbuatan. Tentu untuk urusan
kebenaran dia akan di depan untuk memperjuangkannya. Selanjutnya, kedua ialah Pantang Menyerah. Pantang menyerah,
adalah kata untuk melukiskan orang yang berbuat tanpa ada putus asa. Dia akan
sanggup menghadapi segala rintangan, dan jika gagal terus akan mencoba kembali
sampai kebenaran itu tegak. ketiga dari
kerakteristik seorang dikatakan pahlawan adalah, Rela Berkorban. Pahlawan akan
merelakan kepentingan dirinnya sendiri, pikiran, tenaga, harta bahkan nyawa
untuk kepentingan orang lain yang memang sangat harus ditolong. Dan keempat adalah Mendahulukan Kepentingan
Orang Lain. Orang lain atau kepentingan orang banyak, haruslah didahulukan baru
kepentingan diri sendiri atau kelompok. Nilai kepahlawan itu sendiri sebenarnya
tidak terbatas pada suatu masa atau suatu bidang kehidupan tertentu saja.
Potensi dan intuisi kepahlawan itu sendiri akan selalu ada dan hidup di dalam
diri orang yang memiliki bakat untuk itu, dan ini akan selalu ada disegala
zaman dan disegala bidang kehidupan.
Pada keadaan masyarakat kita sekarang, sifat dari kepahlawanan itu
sendiri terasa sangat sukar untuk ditemukan. Bahwa hal yang demikian, dapat
dikatakan langka dan nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri kian kabur serta
sulit untuk dilihat realita yang jelas. Ia hanya dapat dirasakan sebagai suatu
bentuk impian, yang kian sirna dari kehidupan dalam masyarakat kita dan
terdesak oleh sifat keras kehidupan yang ada dewasa ini . Pencermian yang suram,
dari nilai kepahlawan itu sendiri, tidak lepas dari moral etika yang mencuat
dari generasi suatu bangsa. Nilai kepahlawanan yang bersifat heroisme,
patriotisme dan nasionalisme sebagai pencerminan watak generasi sebelumnya.
Bagaimanapun generasi muda akan mewarisi nilai-nilai dari kepahlawanan itu
sendiri, jika semua itu hanya lewat anjuran-anjuran yang bersifat verbal dari
mereka yang menginginkannya, sedangkan tindakan dari sang penganjur sendiri
sangat bertentangan dari apa yang mereka katakana. Kiranya pahlawan dalam arti
keteladanan adalah sangat diperlukan pada masa sekarang ini, bukan hanya dengan
omongan saja. Mereka-mereka yang lebih berhikmat dibidangnya masing-masing
untuk memerangi kemiskinan, menjunjung tinggi hak azasi manusia yang kesemuanya
itu lebih berarti daripada apa yang hanya berupa anjuran-anjuran belaka.
Sesuai dengan era pembangunan dinegeri kita yang sedang berjalan
dewasa ini , kiranya pula satu keteladanan lebih berharga dari kepahlawanan itu
sendiri, dengan kata lain bahwa “teladan” lebih sesuai dari pada
pahlawan, karena pada saat sekarang negara lebih memerlukan mereka yang mau
bekerja keras untuk membangun negaranya dan keteladanan yang demikian patut
untuk mendapat penghargaan. Memang kita sering melihat dan mendengar dan membaca
di Media massa berbagai bentuk pemberian penghargaan yang tentunya juga
bersifat keteladanan itu sendiri yang sering dilaksanakan di istana Presiden,
tapi gaung dari keteladan itu sendiri tidak begitu ditanggap oleh generasi muda
untuk diteladani. Kiranya ada sesuatu yang kurang pas dihati para generasi muda
kita yang masih cenderung konsumtif dan hura-hura.
Rasulullah SAW sendiri menyatakan dirinya diutus untuk memperbaiki
akhlak, bukan memperbaiki kata-kata. Sebuah Hadits beliau, “aku diutus ke muka
bumi ini, untuk memperbaiki akhlak”. Jadi harusnya kita tidak membuang energi,
untuk ceramah dimana-mana, akan tetapi sulit untuk kita terapkan. Menasehati orang
baik, namun kita sendiri tidak baik. Saya sering contohkan jika anak-anak kita
mau berakhlak baik, maka orang tua di dalam rumah (lingkungan) yang menjadi
pigur dari seorang anak itu, haruslah selalu menunjukkan etika (akhlak), budi
pekerti yang baik. Menyuruh anak shalat atau mengaji, akan tetapi selaku orang
tua tidak membarengkan dengan shalat juga, menjadi aneh. Pahlawan kita, tidak
hanya memerintahkan serang penjajah, akan tetapi ikut terjun di depan, memimpin
pengikutnya.
Kiranya makna hakiki dari arti nilai suatu kepahlawanan sekarang
ini, dapat dikatakan telah mengalami erosi. Pendek kata, nilai kepahlawanan
sewaktu masa revolusi dulu, kini telah mengalami perkembangan arti. Ia tidak
lagi sebagaimana bentuk asli, sewaktu nilai-nilai kepahlawanan yang bersifat
heroik tersebut, diperlukan pada zamannya. Ia telah bergeser pada arah
keteladanan, yang memungkinkan hal-hal yang demikian, dapat ditampilkan
sebagaimana mestinya. Dan guna buat kita sadari bersama, penerimaan dari
masyarakat nanti, dan semua ini kita serahkan kepada waktu dan keadaan serta
sejarahlah yang akan mencatatnya. Karena
hanya itu yang bisa kita perbuat saat ini, untuk berjuang mengangkat senjata,
kiranya sudah bukan zamannya lagi. Perang bukanlah solusi terbaik menyelesaikan
masalah Bangsa. Masih ada diplomasi-diplomasi dan usaha lain. Karena peperangan
justru akan membuat masalah baru, kemiskinan, keterpurukan ekonomi, penurunan
kualitas pendidikan dan keadaan trauma akibat tidak aman situasi.
Mengikuti jejak pahlawan bukan berarti seperti apa yang mereka
lakukan tempo dulu. Nilai-nilai yang bisa kita terjemahkan dari semangat mereka
merebut kemerdekaan inilah yang bisa kita lakukan saat ini. Agar Indonesia yang
mereka rebut sulu, selalu berjaya seperti yang diharapkan. Walaupun mereka
tidak menikmati langsung hasil perjuangannya, akan tetapi untuk kita, anak
cucunya, generasi-generasi selanjutnya. Begitupun nantinya kita akan memberikan
estafet memelihara bangsa ini pada generasi selanjutnya.
Kiranya, lagu “Mengheningkan Cipta”
membantu kita memahami jasa para pahlawan. Mereka berjuang bagi nusa dang
bangsa. Mereka mereka mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa. Jasa mereka itu
sangat berharga. Mereka seperti cahaya pelita dalam kegelapan. Berkat
perjuangan mereka negara kita merdeka. Mereka tahu bahwa penjajahan itu tidak
benar. Maka mereka berjuang menentang penjajahan. Mereka juga tidak menyerah
ketika menderita. Tentu kamu pernah mendengar cerita bagaimana Panglima Besar
Jenderal Sudirman berjuang. Waktu itu beliau sakit keras. Namun, dengan
semangat tinggi beliau tetap memimpin pasukan bergerilya melawan Belanda. Kita
bisa mengatakan seorang pahlawan memiliki sifat - sifat berani, pantang
menyerah, rela berkorban, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Semoga kita
semua mampu berbuat untuk itu, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar