Oleh : Mustapa Umar, S. Ag. M. Pdi.
Pembakaran rumah penganut
Syi’ah oleh Sunni yang terjadi beberapa hari lalu di Sampang Madura Jawa Timur,
adalah gunung es yang mencair dari gunung-gunung es yang ada selama ini. Akan tetapi
percayalah bahwa perpecahan diantara penganut Islam secara garis besar banyak
terjadi pada saat ini bahkan tempo dulu. Nah hanya satu kata, “mengambil hikmah”
dari kejadian ini dan selalu mawas diri agar kita tidak terjebak ke dalam
taqlid (mengikuti) ajaran dengan membabi-buta. Pahami dan pelajari lagi, apakah
paham yang kita anut lebih baik atau mengajarkan kekerasan pada golongan lain
yang tidak mengganggu kita? Hal seperti ini adalah merupakan perang konsep
belaka, yang sama-sama mengklaim yang lebih baik.
Terlepas dari apa
sebenarnya motiv di balik kerusuhan Syi’ah dan Sunni di Sampang, kita lihat
berita saja, namun yang ingin saya tulis di sini adalah, kenapa Label Islam
selalu menjadi pemicu konflik antara ummat sendiri. padahal ukhuwah,
persaudaraan dan akhlak menjadi pokok
ajaran Rasululullah SAW diutus Allah SWT ke muka bumi ini. Kita mengaku
pemegang sunnah-sunnah Rasulullah, akan tetapi ‘munafik’ kita, jika ajaran
persaudaraan antara sesama muslim tidak kita jalankan dengan benar.
Konsep Islam yang
dimunculkan, tidak sebatas NU dan Muhammadiyah, Syi’ah dan Sunni namun ada label-label
Islam yang lain dan sering dimunculkan
dan ‘diperjual belikan’ dalam pasar agama, serta istilah-istilah Islam pun
makin menjamur. Katakanlah seperti Islam Fundamentalis, Islam Tradisional,
Islam Militan, Islam Radikalisme, Islam Sekuler, Islam Liberal, Islam Rasional,
Islam Modern, Islam Pluralis, Islam Borjuis, Islam Kanan, Islam Kiri, Islam
Proletar dll. Atau bahkan mungkin seribu satu label Islam lainnya tersebut
punya makna. Ciri dan tendensi tersendiri terlepas dari baik dan jeleknya.
Namun banyak umat yang menkonsumsi istilah-istilah itu dan kemudian terjebak
dan terseret bahkan terkubur oleh label-label tersebut tanpa perisai apapun.
Lalu apa yang terjadi?
Yang terjadi kalau masalah ini dibiarkan, maka yang terjadi bukan suatu
kedamaian dan ketenangan, tapi justru sebaliknya saling menyalahkan,
mengkultuskan, tuduh menuduh, klaim-mengklaim, pembenaran sendiri-sendiri yang
akhirnya timbullah perselisihan, perpecahan bahkan pertumbuhan darah. Dari sini
umat lain akan mudah mengatakan bahwa biang kerok utama kekacauan adalah Islam.
Di sinilah Islam sebenarnya diperkosa, dikotori, dan disirami air comberan
fundamentalis tradisionalis, kotoran liberalis, modernis, debu-debu militant,
radikal dan noda-noda pluralis, borjuis, proletar dan lain-lain.
Arus label-label Islam
itulah yang membawa masyarakat ke jurang konflik. Padahal kalau kita mau jujur,
sadar dan berpikir dengan jernih kembali, apa sich artinya istilah-istilah atau
label-label tersebut? semuanya tak punya pengaruh dan dampak pada diri kita,
pada ekonomi, lingkungan, kehidupan bahkan pada agama. bangsa, dan negara kita. Apakah maju dan tidakannya
umat di ukur oleh label-label itu? Apakah kaya dan miskinnya masayarakat
disebabkan istilah-istilah tersebut? Tentu tidak! Sebab itu semua hanyalah
wacana belaka, yang jauh dari moral-moral Islam sebenarnya. Label-label
tersebut hanyalah ’keranda’ kosong orang-orang yang punya kepentingan untuk
mengusung umat ke dalam liang perselisihan dan perpecahan yang endingnya Islam
bukan agama perdamaian.
Terkadang kita tak sadar
bahwa kita telah terbungkus oleh kata-kata fundamentalis, liberalis, pluralis,
tradisionalis, feodalisme dan isme-isme yang lain. Terang saja, banyak diantara
umat Islam yang teracuni terkekang oleh istilah-istilah tersebut. hingga
kebingungan dan sulit untuk melangkah maju, serta tak punya ruang dan tempat,
sebab setiap sikap dan gerak geriknya selalu dicap dan dikaitkan dengan
istilah-istilah itu, siapakah pengusung label-label itu? Benarkah
istilah-istilah itu muncul dari pemikir-pemikir islam? Jangan-jangan itu
perburuan dan taktik orang-orang non Islam untuk membuat umat Islam
terjebak dalam konflik kepentingan, konflik berkepanjangan, atau bahkan
jangan-jangan itu sebuah proyek orang-orang Barat untuk memberangus Islam dari
dalam.
Yang jelas Islam tidaklah
demikian adanya, Islam ya Islam, tidak punya embel-embel apa pun. Islam
tidak punya istilah-istilah itu, jika Islam selalu diberi label, maka akan
terus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang selalu akan membawa korban.
Tengoklah bagaimana Dr. Farad Faudah / Fuda terbunuh dengan cara mengenaskan
setelah berdebat tentang Islam sekuler dan radikal, juga bagaimana Fajrul
Rahman yang harus keluar dari negaranya, karena konsep liberalnya tak sejalan
dengan konsep militan orang-orang Pakistan. Begitupun dengan Mustafa Kamal
dengan konsep sekulernya harus membawa korban, Ali Abdul Raziq, Abed Al-Jabini,
Nazer Hamid, Dr. Inah dan lainnya. Bagaimana juga Prof. Dr. Nurcholis Madjid
dengan konsep pluralismenya diserang oleh orang-orang tradisional. Juga Ulil
Absar Abdallah dengan bendera JIL (Jaringan Islam Liberal)-nya mendapat
kritikan tajam, bahkan divonis halal darahnya oleh Habib Riziq dari FPI, serta
masih banyak pertentangan-pertentangan dan perselisihan yang ditimbulkan oleh
istilah-istilah dan label tersebut.
Juga jauh sebelumnya, sejarah perpecahan sejak Ali bin Abi
Thalib yang
menimbulkan perbedaan dimulai dengan peperangan Shiffin antara pengikutnya dengan pengikut
Mu’awiyah,
yang menewaskan 35.000 orang dari pihak Ali bin Abi Thalib dan dari Mu’awiyah tewas sebanyak 45.000 orang. Kemudian muncul berbagai perpecahan yang lain, yang sangat
mengerikan, peristiwa jatuhnya Baghdad, yang diserang oleh bangsa
Mongol
dengan pasukan Tartarnya yang dikenal sebagai bangsa yang
bengis dan tidak berperikemanusiaan. Ini terjadi karena perbedaan pandangan
antara khalifah yang orang Sunni dengan Syi’ah.
Di Aabad 15 M, terjadi pertarungan Kerajaan
Turki dengan Kerajaan Iran. Dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa
mereka berperang untuk mempertahankan kesucian mazhab mereka masing-masing.
Turki dengan Mahdzab Sunnni Hanafi dan Iran dengan Mahdzab Syi’ah.
Begitu juga hanlnya yang terjadi antara penganut Mazhab Syafi’i dengan Mazhab
Hanafi yang telah menghancurkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah
Khurasan. Label-label islam tersebut akan selalu mengusung umat
untuk saling mengklaim benar-salah, baik-buruk, Muslim-Kafir, untuk mengklaim
bahwa kebenaran hanya milik kaum fundamentalis, kemajuan hanya milik liberal,
Tuhan hanya milik Islam tradisional, Islam Radikal, Islam Militan dan
lain-lain, yang ujung-uungnya umat akan mengalami konflik.
Berangkat dari sini
penulis katakana bahwa apapun bentuk dan namanya istilah-istilah itu, hanyalah
merupakan ‘drakula’ dalam Islam. Label-label itu sebagai gerbang konflik,
bahkan mungkin sebagai gerbang maut yang mengantarkan umat Islam pada jurang
perpecahan dan kehancuran. Dari itu, hendaknya kita sebagai pemimpin (khalifah)
agama, pewaris para Nabi terutama untuk memberikan pencerahan pemahaman yang
lebih mendalam dan transparan kepada mereka-mereka umat Islam yang di tataran
‘akar rumput’ agar Islam tetap menjadi agama perdamaian, agama rahmatan lil
‘alamain bukan agama ‘biang kerok’ perpecahan. Na’udzubillahiminzaalik.
Penulis, Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Bima dan Sekretaris Forum Komunikasi
Penyuluh Agama Islam Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar