Oleh : Musthofa Umar, S. Ag., M. Pdi.
Toga atau lebih dikenal dengan
Tokoh Agama adalah terbentuk karena kharisma dan keilmuannya yang khusus dalam
bidang agama Islam. Sedangkan Toma atau Tokoh masyarakat terbentuk melalui
sistem prosedural (Pilpres, Pilwali, Pilbub, RT, RW, Kepala Desa) dan
lain-lain. Namun Tokoh Agama sudah jelas menjadi Tokoh Masyarakat. Akan tetapi
Tokoh Masyarakat belum tentu menjadi tokoh agama. Tema yang diangkat dalam pertemuan di Lesehan
Putri ini, yakni mencegah konflik antar, inter, dan antara umat beragama. Dalam
workshop sehari ini juga dibahas bagaimana mencegah timbulnya penyakit sosial
yang ada di sekitar kita, mulai lemahnya iman umat Islam sehingga malas untuk
melakukan ibadah, minuman keras, judi dan anak remaja yang nakal.
Seminar tanggal 29 September 2012
kemarin, terasa hangat sekali dalam ingatan kita, akan tetapi kini kita
dikejutkan kembali konflik antara dua desa di wilayah Bima (Roka dan Roi)
seperti diberitakan koran ini (selasa 02/10) kemarin. Bahkan konflik dua desa bertetangga ini juga
memakan korban satu orang tewas. Dalam hal ini, perlu juga Kabupaten Bima atau
Tokoh agama, masyarakat dan adat di dua desa ini rembuk dalam mencegah konflik
antara umat beragama, antara masyarakat satu adat seperti ini. Masyarakat kita
begitu mudah disulut hal-hal yang mengakibatkan anarkis, dan mengakibatkan
konflik berkepanjangan. Dan semoga ini menjadi konflik terakhir di Dana Mbojo
ini, lebih-lebih untuk kota Bima jangan pernah terjadi setelah pertemuan
toga/toma kemarin.
Mengawlali pemaparan Nara Sumber,
Drs. H. Syahrir, M.Si. selaku kepala kementerian Agama Kota Bima, memberikan
garis bawah pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu,
mengenai Empat pilar Indonesia. Empat pilar yang dimaksud, yakni Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tugal Ika adalah nilai mati yang
tidak bisa ditawar dalam ragam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama,
ras, suku dan bangsa ini. Nah peran Toga dan Toma sangat dibutuhkan dalam hal
mencegah sedini mungkin konflik yang timbul karena pergesekan ras, suku, agama
dan bangsa yang ada. Contoh paling gress misalnya, tawuran antar kelompok
pelajar yang di Jakarta dan mengakibatkan satu korban tewas. Sebelumnya inter
umat beragama (Islam) terjadi di Sampang Madura Jawa Timur, antara Sunni dan
Syi’ah. Juga antar umat beragama seperti yang terjadi di Maluku, antara Islam
dan Kristen.
Terlebih bulan Oktober ini, harus
kita merenungi kembali peristiwa tahun 1965 silam. Bagaimana pancasila
dirong-rong kewibawaannya oleh segelintir orang yang menamakan dirinya Komunis
Indonesia. seperti yang saya pernah tulis dalam opini sebelumnya, G30/SPKI
adalah gerakan anti Tuhan, dan sangat bertentangan dengan pilar kebangsaan kita
yaitu Pancasila yang mengenal Tuhan dalam sila pertamnaya, “ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sehingga tanggal 1 Oktober kita peringati dengan hari Kesaktian
Pancasila. Landasan inilah yang harus kita patuhi dan kita amalkan, bukan sekedar
menghafal Pancasila dari TK-Perguruan Tinggi, namun bagaimana cara
pengamalannya yang tepat dalam kita berbangsa dan bernegara. Enam agama yang
ada di Indoensia, rata-rata mengenal adanya Tuhan dan Tuhan yang dimaksud
adalah bersifat Esa (tunggal).
Perenungan kita dalam
ber-pancasila hendaknya bisa membuat kita bisa memahami agama dan cara ibadah
umat yang lain. Walaupun mereka adalah umat minoritas di Indonesia, tapi
senyampang tidak menganggu ketentraman umat yang lain, silahkan mereka
menjalankan ibadahnya sesuai agamanya masing-masing. Islam tidak perlu merasa
paling benar sendiri, Islam justru harus lebih baik, menunjukkan agama ini
adalah agama rahmatan lil ‘alamin (agam rahmat untuk sekalian alam). Rasulullah
pun mengajrkan kita hidup berdapingan rukun bersama orang-orang yang nasrani,
majusi, yahudi pada masa beliau. Beliau hanya memerangi orang-orang yang
menentang dan memusuhi Islam. Al-Qur’anpun demikian, agamamu agamamu, agamaku
ya agamaku. Surat al-Kafirun itu jelas pedoman islam dalam hidup berdampingan
dengan umat lain agar tidak timbul konflik-konflik antar agama.
Akan tetapi konflik antar umat
beragama selama ini jarang terjadi, justru yang banyak terjadi konflik atas
nama kepentingan ekonomi dan dendam pribadi bahkan asmara. Nah peran Toga dan
Toma juga harus bisa menjembatani ekonomi umat agar umat ini sejahtera. Kembali
ke landasan negara kita pancasila, sila ke lima yakni “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. pertanyaannya konflik berlandaskan ekonomi selama
ini akankah karena masyarakat kita belum merasa diperlakukan adil?! Entah dari
adil ekonominya ataupun adil dalam penegakan hukum?! Yang jelas tokoh-tokoh
inilah yang harus mengupayakan sedemikian rupa agar masyarakat kita merasa
aman, tertib dan sehat dalam menjalani hidup dan kehidupan mereka
masing-masing.
Beberapa peserta juga ikut
berpartisipasi memberikan tanggapan bahkan curhat yang mreka rasakan selama
ini, misalnya mulai dari pendidikan haruslah pendidikan agama dan budi pekerti
itu lebih banyak porsinya dengan mata pelajaran yang lain, sehingga sedini
mungkin anak-anak bangsa ini terhindar dari konflik seperti yang sudah ada.
Satu menilai kurang tegasnya aparat dan pemerintah dalam mengambil sikap,
sehingga terkesan dibiarkan berlarut-larut dan kalau sudah hal itu terjadi,
maka sulit untuk diselesaikannya. Dan demikian juga dengan peserta yang lain,
menilai konflik yang terjadi selama ini, karena masyarakat tidak taat aturan,
termasuk Pancasila sendiri, apabila aturan dasar ini sudah tidak ditaati atau
dilupakan, maka terjadilah konflik. Dan Umi Mariya memulai tanggapannya dengan
istilah ibdak binafsik (mulailah dari diri sendiri), para tokoh harusnya
memberikan comtoh konkrit dalam hal ini.
Perlu diwaspadai juga
konflik-konflik antara umat islam yang sealiran diakibatkan pilihan berbeda
dalam pemilihan partai, calon bupati, gubernur dan presiden seperti yang
terjadi di Situbondo, antara NU dan NU sendiri dalam pemilihan Gubernur
beberapa tahun yang lalu. Dan tidak menutup kemungkinan di Kota Bima ini,
menjelang Pemilihan Wali Kota, pergesekan-pergesekan kepentingan akibat ekonomi
itu akan muncul. Politik ada yang mengatakan kejam, dan menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan dan keinginan. Coba kita melirik Pilkada DKI berapa
banyak Islamnya dan berapa banyak orang Betawi, namun tokoh Islam dan Betawi
kampanye kemana-mana untuk mencoblos yang Islam dan yang Betawi tidak digubris,
itu menandakan Politik bisa membuat tokoh agama dan masyarakat tidak diindahkan
masyarakat. Lalu ada orang yang mengatakan, beda urusan politik dan agama
bahkan adat?! Memang beda akan tetapi imbasnya nanti pada tataran
kebijakan-kebijakan yang menyangkut umat beragama sendiri.
Kembali ke peran dan munculnya
tokoh agama, adalah tidak diminta untuk ditokohkan akan tetapi muncul sendiri
melalui pandangan masyarakat. Seorang Tuan Guru, Ustad atau Kyai tidak pernah
diminta untuk dipanggil gelar-gelar sosial tersebut, melainkan kesadaran
masyarakatlah yang menganggap seorang tokoh pantas menyandang gelar demikian.
Dan sangat jarang kita temukan seseorang yang meminta dirinya untuk dipanggil
Tuan Guru, atau Kyai bahkan ustad. Malahan ada beberapa tokoh agama yang tidak
mau dipanggil gelar-gelar demikian, karena mreasa ilmunya masih jauh dari yang
akan diembannya. Amanah dari masyarakat untuk seorang tokoh agama sangatlah
berat dari pada tokoh masyarakat. Karena tokoh agama akan selama-lamanya
ditokohkan, diminta fatwanya dalam urusan-urusan gama, namun untuk tokoh
masyarakat, sekedar masa mereka menjabat saja. Akan tetapi memang ada tokoh
masyarakat yang selalu di dengarkan warganya walaupun dia sudah tidak menjabat,
in idiakibatkan karena wibawa dan baiknya sewaktu memimpin.
Berangkat dari hal ini, harusnya
masyarakat yang menokohkan seseorang, bila di nasehati akan cepat nurut atau
mengikuti apa saran dari tokoh yang ada. Ibarat shalat Jama’ah sepeti yang
dicontohkan TGH. Drs. Taufiquddin Hamy (ketua MUI Kota Bima), jika seorang Imam
meminta shaf diluruskan maka jama’ah secara sadar dan langsung meluruskan
shafnya masing-masing. Jika i’tibar ini kita aplikasikan dalam kehidupan nyata
(dunia), maka harusnya jama’ah yakni masyarakat akan patuh dan ta’at pada
iamam-imam mereka (tokoh). Namun kenyataannya tidak demikian.
Dalam masyarakat konflik selalu
muncul, penyakit sosial selalu muncul dan pergeseran-pergesaran nilai akhlak
itu selalu ada. Lalu timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dari cara kita
berdakwah, menasehati mereka? Atau sangat fatal, bila pars tokoh sudah tidak
diindahkan alias tidak didengarkan lagi? Dalam hal ini, Drs. M. taufiqurrahman,
M, Pd. Menilai mungkinkah kita hanya melakukan amar makruf saja (menyuruh ke
kebaikan), namun nahyu anil munkar (mencegah ke kejelekan) jarang kita lakukan?
Agama memberikan alternatif dalam Hadits riwayat Muslim misalnya, “barang siapa
yang melihat kemunkaran, hendaklah dia cegah dengan tangannya (kekuasaan),
apabila tidak mampu, maka dengan lisannya, apablila tidak mampu maka dengan
hatinya (diam) akan tetapi yang demikian itu termasuk lemahnya iman”
Pertemuan yang berlangsung satu
hari ini, memang tidak akan menyelesaikan masalah Bangsa khususnya Kota Bima
dalam sekejap, sehingga KH. Drs. Ramli Ahmad, M AP. mengusulkan agar Toga dan
Toma kompak untuk selalu mengadakan pertemuan rutin yang nantinya menjadi
barometer keberhasilan dakwah selama ini. Diakui memang beberapa tokoh agama
dan tokoh masyarakat menyebar dalam lembaga-lebaga dakwah, seperti PHBI, DMI,
IPHI, MUI, FKPAI, FKSPP, BAZNAS, NU, Muhammadiyah, LDI, Prsis dan sebagainya.
Menyebarnya para toga dan toma ini mungkin yang terlihat hanya sendiri-sendiri.
Nah jika para toga dan toma ini mempunyai forum tersendiri untuk menyatukan
sikap dan mengatur strategi, insyaallah menurut Ustad H. Adnin, M.Pdi dari Forum
Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kota Bima, selaku ketua beliau berharap konflik dan timbulnya penyakit-penyakit sosial
di masyarakat akan segera teratasi dan tercegah sedini mungkin. Lain halnya
dengan sambutan Wali Kota, ke depan pembinaan/pertemuan Toga dan Toma harus
melibatkan toga dan toma agama lain yang ada di Kota Bima. Dengan begitu,
toleransi beragama dan membangun kerukunan harus dilakukan semua pihak yang
ada. Amin..
Penulis adalah Penyuluh Agama
Islam di Kementerian Agama Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar