Oleh : Musthofa Umar
Pondok Pesantren merupakan
pusat pendidikan Islam, dakwah dan pengabdian masyarakat yang tertua di
Indonesia. Pondok pesantren diakui sebagai sistem dan lembaga pendidikan yang
memiliki akar sejarah dengan ciri-cirinya yang khas. Keberadaannya sampai
sekarang masih berdiri kokoh di tengah-tengah komunitas masyarakat. Hal ini
terbukti dengan kenyataan bahwa pondok pesantren saat ini menampakkan keaslian,
kebhinekaan dan kemandirian walaupun usianya setua proses islamisasi di negeri
ini.
Kondisi objektif
menunjukkan bahwa dekade terakhir ini
mulai dirasakan ada 'pergeseran' peran dan fungsi pesantren. Peran dan fungsi
pesantren sebagai kawah candra di muka
orang yang rasikh fi ad-diin (ahli dalam pengetahuan agama) terutama
yang terkait dengan norma-norma praktis (fiqh) semakin memudar. Hal ini
disebabkan antara lain desakan gelombang modernisasi, globalisasi dan informasi
yang berimplikasi kuat pada pergeseran orientasi hidup masyarakat. Minat masyarakat
untuk mempelajari ilmu-ilmu agama semakin mengendor. Kondisi bertambah krusial
dengan banyaknya ulama yang mesti menghadap Allah sebelum sempat mentransfer
utuh kepada generasi penggantinya. Faktor inilah yang ditengarai menjadikan out put pesantren dari waktu ke waktu
mengalami degradasi, baik dalam amaliah,
ilmiah maupun khulqiyah.
Penurunan kualiatas peran
dan fungsi pesantren ini memunculkan kerisauan di kalangan ulama akan punahnya
khazanah ilmu-ilmu keislaman. Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius
tentu sangat membahayakan masa depan umat Islam. dari sinilah pentingnya segera
dibentuk lembaga yang secara khusus intens mempesiapkan kader-kader yang
memiliki integritas ilmiah, amaliah dan khuluqiyah yang mumpuni.
Pesantren
merupakan Rekontruksi Akhlak
Bahwa dunia
telah dilanda dekadensi moral. Realitas kehancuran akhlak yang telah lama
“kronis” dan semakin gencar melanda bangsa Indonesia ini, kiranya tidaklah
berlebihan bila Indonesia dinominasikan sebagai salah satu sudut bagian dari sektor
atau wilayah yang dimaksud oleh salah satu ilmuwan kenamaan asal Perancis
itu.
Innalillah (ungkapan terjadi bencana kecil), bahkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un (ungkapan terjadi bencana besar), bangsa kita
telah dilanda bencana atau musibah kehancuran akhlak. Musibah besar itu semakin
gencarnya menghantam tanah air kita.
Realitasnya, untuk sekarang ini,
tidak satu pun ahli pendidikan yang tidak mengatakan, “bahwa kondisi dunia, di
antaranya Indonesia sekarang telah benar-benar mengalami dekadensi akhlak yang
luar biasa dalam standar umum sekalipun, apalagi yang benar-benar
akhlakulkarimah”.
Ironisnya, hal itu juga
telah menjangkit dan akrab bergumul dengan komunitas berpendidikan. Bahkan
naifnya lagi, musibah itu, mereka umumnya menyebut hal biasa. Misalnya, biasa
zaman modern, generasi muda-mudinya bergaul bebas dan jauh dari
akhlakulkarimah. Sungguh naif dan memilukan, bukan ?
Kita menyaksikan, utamanya
fenomena yang sangat memprihatinkan adalah dunia lingkup tunas-tunas bangsa
dalam gejolak “pemelesetan” dari globalisasi dan rekayasanya ini. Padahal
generasi muda adalah mahkota dari suatu bangsa. “Jika putra-putri bangsa itu
baik, maka suatu negara menjadi harum, dan justru sebaliknya, bila generasi
mudanya telah rusak akhlaknya, maka busuklah suatu negara”. Demikian komunitas
terdidik sering berujar.
Sekali lagi, musibah besar itu
semakin gencarnya menyerang. Di mana berstatusnya putra-putri bangsa sebagai
siswa-siswi, atau bahkan mahasiswa-mahasiswi alias bukan siswa-siswi biasa
lagi. Bukanlah sebuah jaminan atau “asuransi” meningkat dan terjaganya
intelektualitas mereka (kita), baik pemikiran maupun segala sikapnya.
Padahal, merekalah yang dipastikan
akan mengemudi bangsa di masa mendatang, meskipun pada level atau lahan yang
berbeda. Namun, ’’bibit nahkoda‘’ bangsa ini sangat naif dan
memprihatinkan.
KH. Abdurrahman Wahid dalam bukunya, Menggerakkan ”Tradisi Esai-Esai
Pesantren” Ia berpendapat, bahwa pondok pesantren seperti akademi militer
atau biara (monastery, convent) dalam
arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.
Sehingga dengan faktor
tersebut, penulis berpendapat, di tengah-tengah terus rusaknya akhlak dari
“atap langit” sampai “akar bumi” bangsa kita ini. Pondok pesantren akan sangat
tetap memungkinkan untuk tetap survive
sebagai ‘’transmisi atau agen akhlakulkarimah’’. untuk “memfilter”
keluar-masuknya budaya. Demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
Hal tersebut, sesuai pendapat
Clifford Geertz yang dituangkan dalam bukunya ”The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker”, bahwa
kyai pesantren punya peran besar sebagai “makelar budaya” (Cultural Broker).
Tetapi, menelaah pendapat Geertz itu, penulis tetap
berpendapat: “memfilter budaya”, adalah dalam konteks menuju terimplementasinya
akhlakulkarimah dalam kehidupan manusia. Namun, pesantren akan bisa tetap
berfungsi sebagai "filter budaya" juga, bila di masing-masing pondok
pesantren pendidikan akhlak masih dominan dan dimaksimalkan.
Sebab, dengan optimalnya
akhlakulkarimah (minimalnya pendidikan) di masing-masing pesantren itulah, maka
pesantren akan tetap mampu untuk berperan aktif dalam “memfilter budaya”,
karena dengan adanya akhlakulkarimah itu pula, dari sekian banyak gelombang
budaya yang terus kencang mengalir dan membanjiri manusia, tapi komunitas
pesantren (utamanya santri di masing-masing persantren) mudah menerima terhadap
hasil "penyaringan budaya” yang dipimpin oleh kiyai dan kemudian
para santri langsung melaksanakan dan dengan sendirinya mengalirkannya budaya
baru yang telah "disaring" itu kepada publik (lingkungan) setelah
mereka (para santri) kembali ke kampung masing-masing untuk menerapkan budaya
dalam kehidupan masyarakat yang tidak bertabrakan dengan akhlakulkarimah.
Namun sebaliknya, bila
akhlakulkarimah (akhlak terpuji) telah bias di dalam kehidupan pesantren,
dan dikalahkan oleh akhlakussayyi’ah
(akhlak tercaci) maka pesantren dalam konteks "makelar budaya" tidak
akan begitu banyak berperan, atau bahkan sama sekali tidak akan bisa berperan.
Hal itu bisa dilihat dan
dibuktikan dalam komunitas akademisi yang free_expression,
baik di dalam, utamanya di luar kampus (kost-kostan). Dengan sendirinya tidak
memungkinkan dunia kampus untuk bisa berfungsi sebagai “medium budaya”, tetapi
lebih tepat dan lebih empuk sebagai "objek atau mangsa budaya".
Kecuali, secara individual
komunitas akademisi punya kemampuan untuk melakukannya, dan tentunya, dengan
lingkungan (kost) yang tidak mendukung itu, hal itu minim sekali. Karenanya, sangatlah
tepat sekarang-sekarang ini, banyak bermunculan pesantren sebagai asrama
mahasiswa. Sehingga merupakan salah satu faktor yang cukup signifikan untuk
mengusung (moral) generasi yang ber-akhlakulkarimah.
Memang, di tengah runtuhnya akhlak
bangsa kita ini, seiring dengan memuncaknya gejolak hedonisme ini, pondok
pesantren yang selama ini dianggap sebagai markas religius (Islam), dalam
kapabilitasnya sebagai ‘’agen’’ akhlakulkarimah,
jelas harus eksis dan survive
mengajarkan dan menuntun para santri (masyarakat) untuk secara perlahan
menerapkan akhlakulkarimah dalam
kehidupan, baik horisontal maupun vertikal dalam berbagai segi dan
sendinya.
Hal itu sesuai kondisi awal
hadirnya pesantren, ketika itu bangsa Indonesia dalam kondisi hewani atau Jahiliah (sebelum datangnya Islam), dan
pesantren (dengan agama Islam) hadir untuk mengusung manusia ke arah yang
bermoral atau manusiawi.
Termasuk ketika para elite
pesantren “menyelewengkan” institusi pesantren untuk “dimanfaatkan sebagai
alat” di dalam gelanggang politik, komunitas pesantren harus tetap menjadikan
akhlakulkarimah sebagai salah satu “senjata peperangan” di dalam gelanggang
yang semestinya “harus” demokratis itu, untuk menjaga identitas pesantren, dan
menanamkan “benih demokrasi” yang berawal dari kebersihan.
Dewasa ini, pendidikan akhlak itu
oleh sebagian golongan kadang hanya dianggap sebuah “konservatisme” demi untuk mengkultuskan sang kyai, katanya.
Misalnya saja, karya syeikh Ibrohim bin Ismail, sebuah syarah dari kitab Ta’lim al-Muta’allim; thoriq at-ta’alum karya Syeikh al-Zarnujy , atau Akhlaq al-Banin (ibtida’iyyah)
karya Umar Bin Ahmad Baradja, dan
pelajaran-pelajaran akhlak lainya, yang masih eksis diajarkan di berbagai
pesantren, utamanya pesantren tradisional.
Namun, asumsi sebagian orang
tersebut, oleh kalangan elite pesantren biasa dianggap hanya sebagai faktor
bisa menunjang terhadap arus perdebatan Islam yang semakin gencar sekarang ini.
Hal itu sama sekali tidak bisa “menggoyang” terhadap eksistensi pendidikan
akhlak yang masih dan harus dominan dilaksanakan oleh masing-masing pesantren.
Karena dengan tertanamnya
akhlakulkarimah itu, akan turut melancarkan peredaran ilmiah,
diantaranya anak manusia akan mengetahui ‘’di mana’’ posisinya dalam
siklus ilmiah, sebagai guru atau murid, pendengar, atau hanya berposisi sebagai
pecinta saja?! Dan berbagai fungsi lainya.
Memang, dalam konteks pendidikan,
pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sekaligus
mendidik (akhlak). Akhlakulkarimah itu, sekarang ini dalam liberalisasi atau
sekularisasi dunia akademisi semakin terpuruk, utamanya “iklim pergaulan”
antara laki-laki dan perempuan, dan yang paling memprihatinkan adalah di luar
kampus (tempat-tempat kost), dalam komunitas akademisi perguruan tinggi Islam
sekali pun.
Alasan mereka singkat saja, “Kita
ingin jadi Muslim moderat”. Meskipun diantara mereka banyak kedapatan yang
“tidak jelas” landasan hukum yang dipegang, juga dalam ketidaktahuan terhadap
pegangan hukum, dan kurang siapnya untuk melakukan kewajiban agama itu.
Ironinsnya, mereka banyak yang mengatakan, “Kita ini manusia biasa, bukan Nabi
yang ma’shum (terjaga dari maksiat)”.
Sungguh menggelikan sekaligus memprihatinkan, bukan?!
Memang benar hal tersebut. Tapi
persoalannya, kenapa kita tidak berpikir dan mengatakan, ‘’Mari kita
sama-sama untuk terus berusaha meningkatkan ketakwaan kita, dengan cara yang
menunjangnya, misalnya menjauhi tempat-tempat yang dikenal sangat jauh dari
akhlak terpuji dan berpotensi dengan akhlak tercaci (kemaksiatan). Seperti
tempat kost yang umumnya dan dikenal sebagai tempat yang rusak dan kotor
itu. Karena dalam hukum Aqli (hukum
logika), berada di tengah kobaran api, kita akan terbakar, di tengah
lautan akan tenggelam’’. Bukankah berpikir demikian itu, kita lebih
ilmiah?.
Ironinya lagi, telah terjadi
“pemelesetan agama” dalam budaya bahasa, sehingga sering terlontar dari mereka,
agama adalah fanatisme belaka. Tetapi, mereka tidak pernah menyadari bahwa
dirinya berada dalam fanatisme kesalahannya.
Sungguh menggelikan, selama ini
kalimat fanatik hanya sering dilontarkan kepada agama. Padahal, aspek
etimologi, kalimat fanatik bisa diterapkan dan dirangkai dengan berbagai
kalimat lainnya. Misalnya fanatik dengan kesalahan, fanatik dengan seni,
fanatik dengan berdagang, dan lain-lain.
Inilah, kiranya salah satu bukti
penyelewengan budaya bahasa dewasa ini, utamanya dalam komunitas muda. Mungkin
juga diakibatkan karena kurang memahaminya terhadap ilmu
bahasa. Sekali lagi, “Sungguh menggelikan dan memprihatinkan, bukan ?! Agama
dianggap fanatisme, tetapi kesalahan didewakannya. Fenomena dan
argumentasi di atas tersebut, lagi populer di kalangan “terpelajar”, baik
pelajar umum utamanya pelajar perguruan tinggi agama Islam saat ini yang syok berwawasan ilmiah. Dari situ, dapat
disimpulkan, betapa para pelajar Indonesia saat ini ingin membuat argumentasi
berdasar agama, tetapi miskin nuqtoh
(nilai) ilmiah. Maka, dapat diambil kepahaman, bahwa betapalah fenomena
kehancuran akhlak itu, terus mengalir dan menyerang masuk ke berbagai “saluran,
ruangan, atau rongga-rongga, dan sel-sel” komunitas pelajar. Kiranya,
diakibatkan oleh satu hal, yaitu “pemelesetan dan penyelewengan” dari
eksistensi globalisasi dan demokrasi.
Lingkungan pendidikan dan berbagai pusat
pelatihan serta tempat kerja kita kini juga dipengaruhi oleh lingkungan global
yang merupakan berbagai pengaruh eksternal
dalam dinamika berbagai
aspek kehidupan di dunia,
Lingkungan global yang
mengandung pengertian tereksposnya kita
oleh kehidupan komunitas
global menuntut adaptasi
masyarakat kita pada
kondisi global dan pada gilirannya menuntut adaptasi individu untuk bisa
bertahan di masyarakat di mana ia hidup. Interface
(antar muka) antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan
aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup
dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun
global inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas
perlakuan subjek SDM. Dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap
peserta didik. Interaksi yang terjadi dalam prilaku anak-anak kita. Namun
secara reciprocal (timbal balik) perlakuan yang terjadi adalah cermin kehidupan
masyarakat di mana ia hidup.
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah yang baik
dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi
cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran dan
kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan mempengaruhi
hasil-hasil belajarnya. Guru dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang akan
diajarkan, dan memiliki tingkah laku yang tepat dalam mengajar. Oleh sebab itu,
guru harus dituntut untuk menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan
memiliki metode yang tepat dalam mengajar. Di samping orang tua, lingkungan
juga merupakan salah satu faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil
belajar siswa dalm proses pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan alam
sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak, sebab
dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan
dimana anak itu berada.
Lingkungan masyarakat dapat
menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang sebayanya. Apabila
anak-anak yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak akan
terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak di
sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan
anakpun dapat terpengaruh pula. Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan
membentuk kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak
akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Oleh
karena itu, apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan
temannya yang rajin belajar maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa
pengaruh pada dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar