Oleh : Musthofa Umar
Beberapa
edisi yang lalu, penulis pernah membahas tentang Pondok Pesantren dalam sebuah
lembaga, Kyai sebagai pemimpin di Pesantren, termasuk sistem pendidikan di
Pesantren. Nah saat ini, saya ingin menulis satu unsur yang tak kalah penting
dalam keberadaan sebuah Pondok Pesantren yakni adanya Santri.
Santri, secara total pada hakekatnya hanya orisinilitas spesifik budaya bangsa
kita, sebagai honoris causa dari masyarakat kepada individual dengan kriteria
tertentu, sebagaimana sang kyai, berdasarkan aspirasi masyarakat.
Keberadaannya terus eksis di
tengah-tengah aneka ragam
suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita. Dan honoris causa
tersebut sama sekali tidak berlaku di negara lain.
Predikat
santri adalah julukan kehormatan, karena gelar santri bukan semata-mata sebagai
pelajar atau siswa, tetapi ia memiliki akhlak yang berlainan dengan orang di
sekelilingnya. Buktinya, setelah keluar dari pesantren, ia mendapat gelar
santri alumni, dan dia memiliki akhlak dan kepribadian sendiri. Santri
merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena
langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada
murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah
menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan
mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya
terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong
merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah
masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri
kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak
keberatan kalau sering pergi pulang.
Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren. Santri juga dalam pengartian
seperti yang dibilang Clifford Geertz
yang dikutip Za’imuddin, “adalah
sebagai komunitas Islam taat itu. Kecintaan mereka begitu kental sehingga bila
bersalaman selalu mencium tangan kyai, bahkan untuk masyarakat tertentu di
kedua sisi tangan mereka. Rasa hormat yang tinggi ditunjukkan dengan keengganan
untuk bicara sebelum mereka bertanya dan tidak berani menghadap bila merasa
pakaiannya tidak pantas”.
Secara harfiiah, santri diartikan
sebagai ahli dalam kitab suci dan merupakan produk dari pribumisasi Islam
setelah penjajahan Barat selesai. “Kata “santri” yang berasal dari bahasa Pali,
“shantri”, berarti “ahli kitab suci” di masa sebelum Islam. Pada masa
berikutnya, ahli kitab suci Hindu-Budha itu masuk Islam dan mempelajari agama
ini dengan segala cabangnya di bawah bimbingan kyai. Kata “kyai” sendiri
berarti “orng tua” (syaikh). Pemakaian kata “santri” dan “kyai”, adalah hasil
dari pribumisasi Islam”.
Istilah santri menunjuk kelompok
penuntut ilmu yang bisa dibedakan dengan kalangan mereka yang disebut murid
madrasah atau siswa sekolah umum, walaupun mereka sama-sama dalam lingkup
lembaga pendidikan Islam. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari rata-rata usia
mereka, proses seleksi masuk kelembaga pendidikan masing-masing, materi dan
sistem pengajian yang mereka ikuti, kebiasaan dan pola hidup sehari-hari, dan
lingkungan belajar pada umumnya.
Peta santri di bagi beberapa
macam, seperti dalam tulisan Dewan Asatidz, dalam Peta Kemajemukan Santri dia membagi dua
macam.
Santri Profesi
Sedikit
pun, tetap tidak tepat kalau dalam jama’ah santri, disebut adanya santri
Abangan, atau Santri Kejawen dan sejenisnya. Karena jelas, baik secara faktor
individual, maupun faktor warisan dari leluhurnya, tetap tidak ada peluang
untuk berposisi sebagai Santri Kejawen, atau Santri Abangan, yang istilah
tersebut terdapat dan sering berlaku digunakan dalam konteks gelar Islam
Kejawen karena model faham yang diyakininya, atau Islam Abangan, berdasarkan
percampuran aliran Islam warisan dari leluhurnya, dengan tanpa adanya ketaatan
beribadah.
Santri,
pada asalnya adalah honoris causa bagi orang yang bernaung di sebuah pondok
pesantren, sehingga dalam konteks pendidikan, oleh para peneliti sering
dikatakan bahwa santri adalah salah satu unsur dari pondok pesantren.
Santri Kultur
Bila
ada orang dari komunitas terpelajar mana pun, baik pelajar non-pesantren maupun
pelajar pesantren sekali pun, tetapi tidak jelas akhlaknya, atau ber-akhlakussayyiah (berakhlak buruk) alias
tidak mampu iffah (jaga diri) dari
ikhlasnya honoris causa (santri),
maka kultural atau budaya masyarakat pasti mempertanyakan kesantrian orang
tersebut.
Realitasnya,
dalam kultural atau budaya masyarakat, selama ini telah mengakar sebuah
fenomena. Gelar santri juga berhak disandang oleh siapa pun yang memaksimalkan akhlakulkarimah (baca: taat kepada
Allah) dalam berbagai aspek kehidupannya. Meski pun mereka tidak pernah menyentuh
pendidikan pada pondok pesantren. Sesuai
asal-usul gelar santri, selama ini adalah honoris causa dari masyarakat
(sebagaimana gelar sang kiai), yang dianugerahkan kepada para pelajar yang
menempuh studi di pondok pesantren (baca: santri profesi). Hal itu,
dikarenakan pelajar pesantren identik dengan ruh religius yang tercermin dalam
akhlakulkarimahnya. Lain halnya denga Dhofier membagi peta santri itu dalam dua
peta juga, yakni santri mukim dan santri kalong.
(a) Santri Mukim, Santri mukim adalah santri yang
menetap, tinggal bersama kyai dan secara aktif menuntut ilmu dari kyai. Dapat
juga secara langsung sebagai pengurus pesantren yang ikut serta bertanggung
jawab atas keberadaan santri lain. Setiap santri yang mukim telah lama menetap
dalam pesantren secara tidak langsung bertindak sebagai santri mukim. Ada dua motif seorang
santri menetap sebagai santri mukim : pertama, motif menuntut, artinya
santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kyainya. Dan kedua, motif
menjunjung akhlak, artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar
santri tersebut setelah keluar dari pesantren mempunyai akhlak terpuji sesuai
dengan akhlak kyainya. (b) Santri
Kalong, Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid
yang berasal dari sekitar desa pesantren yang pola belajarnya tidak dengan
jalan menetap / mukim di pesantren, melainkan semata-mata belajar dan langsung
pulang ke rumah setelah belajar di pesantren selesai.
Ada
dua kelompok santri lagi yang dikutip Imron
Arifin dalam bukunya, tentang hasil penelitian Arifin dan Sunyoto
bahwa, selain santri mukim dan santri kalong yang sudah Dhofier kemukakan di atas, ada santri alumnus dan santri luar yang
di jelaskan sebagai berikut;(c) Santri
Alumnus, Santri alumnus adalah para santri yang sudah tidak
aktif dalam kegiatan rutin pesantren tapi mereka masih sering datang pada
acara-acara insidental dan tertentu yang diadakan pesantren, mereka masih
memiliki komitmen hubungan dengan pesantren, terutama terhadap kyai pesantren. (d)
Santri Luar, Santri
luar, yaitu yang tidak terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak mengikuti
kegiatan rutin pesantren sebagaimana santri mukim dan santri kalong, tetapi
mereka memiliki hubungan batin yang kuat dan dekat dengan kyai, sewaktu-waktu
mereka mengikuti pengajian-pengajian agama yang diberikan oleh kyai, dan
memberikan sumbangan partisipatif yang tinggi apabila pesantren membutuhkan
sesuatu.
Selanjutnya
dalam buku Imron Arifin juga terdapat kelompok santri lain selain santri mukim,
kalong, alumni dan luar yang beliau kutif dari penelitian Sukamto bahwa ada santri sarung dan santri celana, di jelaskan
sebagai berikut; (e) Santri
Sarung, Santri sarung yaitu kelompok santri yang hanya
menekuni bacaan kitab-kitab kuning. Tipologi fisik dari santri ini adalah
kemampuan mereka selalu beratribut pakaian sarung, berbaju taqwa dan berkopiah,
serta membawa sebuah kitab untuk diuji maknanya. Mereka datang ke
pesantren hanya untuk
mendalami agama saja, santri
sarung jarang ditemukan di
pesantren-pesantren khalaf tapi
banyak di pesantren-pesantren salaf. (f) Santri Celana, Santri celana, yaitu
kelompok santri yang menempuh pelajaran-pelajaran sekolah umum di lingkungan
pondok pesantren. Sebutan celana diambil dari kebiasaan cara siswa memakai
celana ketika sekolah, dan bahkan dikenal sering memakai celana panjang
daripada memakai sarung. Mereka datang ke pondok pesantren hanya untuk
mendapatkan ijazah sekolah, yang akan dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Lalu
bagaimana peran santri di era reformasi saat ini? Arwani Syaerozi menulis dalam peran santri di era
reformasi bahwa ada tiga faktor penyebab kaum santri
tetap termarjinalkan dalam ruang publik, yakni; Pertama, minimnya
publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil
apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos
melalui media massa
(baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah
masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam
dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda
media.
Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun
organisasi yang mapan, sistematis networks
adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh:
sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti)
mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa
mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik
instansi pemerintah, swasta, maupun LSM. Ketiga,
agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran
kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal, akhirnya masyarakat pun tidak
sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Santriprener
BalasHapus