Musthofa Umar
Ramdhan telah menyapa,
menyambut dan menemui kita. Mungkin sebelumnya sudah kita persiapkan semua yang
dibutuhkan untuk menyambut bulan penuh berkah, rahmat dan maghfiroh ini. Tentu
dengan rasa syukur, penuh ikhlas dan kemantapan hati kita cara yang baik
sebagai persiapan menghadapinya, agar dalam mejalankan puasa ini lancar tanpa
terkendala apapun dan berakhir sempurna. Kesempurnaan iman dan islam yang
mengantarkan kita nanti menjadi orang-orang yang bertaqwa, akan tetapi Ramadhan
kali ini sangat berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Tahun ini,
kesabaran kita akan diuji penuh dengan adanya Pilpres (Pemilihan Presiden)
2014. Dimana peluang untuk ‘batal’ puasa itu sangat besar, kampanye hitam
(fitnah), membicarakan kejelekan orang (ghibah), berbantah-bantahan (ngotot
dengan adu urat), konspirasi hitam (niat jahat), dan lain-lain.
Sehingga bulan Ramadhan
kali ini, harus betul-betul extra sabar, baik pra maupun pasca pemilihan,
karena sabarlah yang akan mengantarkan kita ke tujuan puasa itu sendiri. Tujuan
taqwa dari puasa Ramadhan sudah terbersit dalam dalil diwajibkannya puasa yakni
surat Al-Baqarah ayat 183. Allah memerintahkan kita dengan santun sekali,
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Ayat ini
mengandung banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik untuk ibadah yang
kita jalankan sebulan penuh ini. Coba kita mulai dari kata-kata “Ya
ayyuhalladzinaamanu” (Hai orang-orang yang beriman). Dari redaksi ayat, jelas
ayat ini diturunkan setelah hijrah. Arti lain adalah setelah kemantapan iman
umat Islam dirasa cukup saat itu. Di Madinah tepatnya ayat ini turun sebagai
perintah untuk berpuasa. “Ya Ayyuhalladzi” juga sebagai pembeda letak turun
sebuah ayat. Kalau “Ya Ayyuhannas atau Ya Bani Adam” biasa di Mekkah.
Imam Ath Thabrani
maupun Ibnu Katsir sama-sama memaknai ayat ini dengan istilah bahwa, yang
berpuasa adalah orang-orang yang benar-benar iman kepada Allah dan Rasul-Nya
dari umat manusia di muka bumi. Ayat ini juga menjelaskan ke kita, kaitan puasa
dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan hanya orang-orang yang
memiliki iman (keyakinan dan kepercayaan) akan adanya Allah SWT dan Rasul-Nya
Muhammad SAW. Dari puasa atau ibadah puasa yang dijalankan seseorang,
menunjukkan orang tersebut mempunyai kesempurnaan iman. Dan diharapkan akhir
puasa nanti, keimanan orang yang berpuasa ini, tambah mantap dan sempurna.
Kata-kata iman sendiri
dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 dinyatakan, “dan kamu sekali-kali tidak
akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar”. Dan
ditegaskan dalam sebuah hadits Rasululullah SAW yang menjadi rukun iman adalah,
“ Iman itu engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari Kiamat, mengimani
Qadha dan Qadar, yang baik maupun buruk”. Enam poin penting dalam rukun iman
ini, haruslah dimiliki orang yang mengaku beriman. Karena antara satu dan
lainnya sangat berkaitan, salah satu tidakmasuk anda percaya, iman dan yakin
makan kesempurnaan iman anda perlu dipertebal kembali. Dikatakan sempurna bila
semua point ini ada dalam keyakinan pribadi kita. Khususnya kepercayaan kita
kepada Rasululullah, kepercayaan kepada beliau adalah tentu dengan menjalankan,
mengikuti dan mentauladani apa yang pernah diajarkan kepada kita.
Begitulah cara iman kita atau dikatakan beriman kepada Rasululullah.
Dan iman itu tidak hanya
sekedar di dalam hati, namun harus dibuktikan atau diaplikasikan dalam segala
bentuk tindakan kita sehari-hari. Seperti dikatakan Imam Asy Syafi’i bahwa,
“setahu saya, telah menjadi ijma’ para sahabat serta para tabi’in bahwa iman
itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi
salah satu pun dari tiga hal ini”. Jadi tiga hal intisari keimanan seseorang
dikatakan sempurna atau benar-benar beriman menurut Imam Asy Syafi’i adalah
perkataan, perbuatan dan niat. Kalau di balik Niat menetapkan sesuatu yang
dikombinasikan dengan Perkataan dan diaplikasikan dalam perbuatan. Sehingga ini
pun harus selalu ada dan lengkap, artinya tidak boleh terpisah satu dan lain
hal. Apabila terpisah, maka manusia itu dikatakan munafik. Orang yang antara
hati, perkataan dan perbuatannya berlawanan.
Dan banyak kita jumpai,
orang yang mengaku beriman, percaya kepada enam point keimanan di atas, namun
enggan melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa bahkan hajji padahal mereka
mampu untuk melaksanakannya. Maka keimanan orang tersebut belumlah dikatakan
sempurna. Nah kalau kembali ke perintah puasa ini, orang-orang seperni
sebenarnya tidak termasuk dalam seruan ayat ini. Dan artinya tidak boleh
melakukan puasa Ramadhan. Karena pada dasarnya untuk apa melakukan puasa, bila
shalat, zakat dan hajji (bila mampu) tidak dilakukan.
Selanjutnya kalimat, “kutiba
‘alaykum ash-shiyaam”. (telah diwajibkan atas kamu berpuasa). Kalimat ini
menurut Al-Qurthubi adalah kalimat wasiat kepada mereka yang mukallaf pada ayat
sebelumnya. Akan tetapi pada awal perkembangan Islam, beberapa pendapat
mengatakan bahwa puasa belum menjadi kewajiban, namun sekedar anjuran saja. Hal
ini terlihat pada ayat 184 Surat Al-Baqarah, “maka barangsiapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Ayat 184 surat Al-Baqarah ini memang
terlihat ada penawaran Allah SWT kepada umat Islam pada saat itu. Kenapa saya
bilang saat itu, karena setelah ayat ini turun di susul dengan ayat 185 Surat
Al-Baqarah juga, “barangsiapa diantara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, maka
wajib baginya puasa”. Nah oleh Ibnu Katsir menyimpulkan penghapusan hukum
anjuran (ayat 184) benar adanya bagi orang yang tidak sedang berpergian dan
sehat badannya, yaitu dengan diwajibkan puasa padanya. Jadi hadir dalam konteks
aqil baligh dan berakal. Anak kecil yang hadir (lahir) dalam bulan Ramadhan
tentu tidak wajib berpuasa, akan tetapi wajib dikeluarkan zakat fitrahnya pada
malam ‘Idul Fitri nanti. Namun jika sudah masuk rukun-rukun wajibnya puasa, dan
berbadan sehat maka wajiblah mereka untuk melakukan ibadah puasa. Tidak ada
alasan atau penggantian denda (fidyah) seperti ayat anjuran pada ayat 184 surat
Al-Baqarah di atas.
Memang semua perintah ibadah atau
larangan terhadap sesuatu hukum dalam Islam, Allah melakukan dengan bertahap.
Ada ayat-ayat sebelumnya yang tidak secara tegas dan langsung karena melihat
kondisi keimanan umat Islam pada waktu itu, demikian pendapat yang dikemukakan
oleh Syekh Ali Hasan Al-Halabi. Demikian juga tentang pelarangan khamar dan
minuman keras. Allah SWT tidak secara tegas mengharamkan, namun keharaman
Khamer dan mabuk-mabukan tertera dalam ayat ke tiga yang turun pada masa itu.
Ayat pertama dan kedua, adalah anjuran meninggalkan dan penjelasan tentang
effek kurang baik yang ditimbulkan khamer itu sendiri. Dan apabila dirasa
mantap iman para sahabat saat itu, maka saat itu juga turun ayat penegasa yang
menjadi pokok hukum selanjutnya dalam Islam.
Lalu potongan kalimat (ayat) bagian
ketiga dari dalil naqli perintah puasa Ramadhan yakni, “kutiba ‘ala alladzina
min qoblikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Tafsir
Imam Al-Alusi menulis, yang dikatakan orang-orang sebelum kamu dalam ayat ini
adalah para Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Jadi sejak Nabi Adam AS
perintah puasa itu sudah ada namun caranya tentu berbeda-beda. Islam dengan
caranya saat ini yakni menahan makan, minum, berhubungan badan, berkata-kata
kotor, fitnah, menggunjing dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
Allah selama matahari terbit hingga terbenam sejak tanggal 1 sampai 30
Ramadhan. Dalam hal larangan tidak jauh beda penerapannya dengan Nabi-nabi
terdahulu, yang berbeda adalah jumlah hari puasanya.
Termasuk menurut Al-Hasan As-Suddi
As-Sya’bi adalah umat Nasrani. Karena Islam muncul pada saat Nabi
Muhammad SAW ada. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, agama hanya
mengedepankan ketauhidan saja. Dan perintah-perintah serta larangan yang tidak
sekomplit saat ini. Sehingga wajar kalau Rasululullah SAW dan Islam dikatakan
agama penyempurna sebagaimana di firmankan Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat
3 yang merupakan ayat terakhir diturunkan kepada Rasululullah SAW.Islam adalah
agama penyempurna dari ajaran-ajaran yang pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi
sebelumnya. Pada potongan ayat ketiga ini, terlihat adanya penekanan
hukum, penambah semangan serta melegakan hati manusia. Karena suatu perkara
yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh orang banyak,
akan menjadi hal yang biasa saja.
Mungkin kalau boleh saya istilahkan
dengan pengistilahan saat ini, khawatir umat Muhammad SAW (Islam) cemburu
sosial. Karena menganggap hanya perintah puasa itu hanya diberlakukan padanya.
Padahal tidak demikian adanya. Dari itu Allah SWT memperjelas cerita tentang
puasa itu sendiri dengan sesuatu yang sama dan pernah dilakukan pada masa
lampau. Lalu kenapa berbeda? Namanya saja agama penyempurna, tentu lain dari
yang sekedar dicoba. Ibarat hasil produksi sebuah perusahaan, hasil sampel
(contoh) tentu tidak akan sebagus hasil akhir atau barang jadi. Itulah makna
semangat yang ingin diberikan oleh Allah SWT kepada kita, umat Nabi Muhammad
SAW.
Ada beberapa riwayat memang, yang
menyebutkan bahwa umat sebelum Nabi Muhammad SAW adalah hanya disyari’atkan
puasa Cuma tiga ghari namun setiap bulannya. Malah kalau kita total lebih
banyak umat terdahulu dengan kita saat ini. Matematikanya 12 bulan dalam
setahun dikalikan 3 hari jadi sebanyak 36 hari. Nah kita saat ini, hanya 30
hari selama bulan Ramadhan saja. Ini dikatakan dalam riwayat Muadz, Ibnu
mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan lain-lain. Dikatakan juga puasa tiga hari ini dimulai
sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh (tergantikan) oleh puasa sebulan
penuh di bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini.
Dan potongan keempat ayat 183
Surat Al-Baqarah ini adalah kalimat, “la’allakum tattaqun” (agar kalian
bertaqwa). Karena pencapaian kesempurnaan iman seseorang adalah dia meraih
predikat taqwa. Hal ini sesui dengan ayat 13 dalam Surat Al-Hujarat,
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa
diantara kalian”. Kata-kata “la’alla” dalam akhir ayat 183 surat
Al-Baqarah ini mengandung berbagai penafsiran dari para imam. Ada yang
mengatakan kalimat “la’alla” berarti ‘ta’lil’ artinya alasan. Alasan juga bisa
diartikan sebab dan tujuan dari melakukan sesuatu. Jadi tujuan puasa adalah
menyebabkan orang yang melakukannya menjadi taqwa. Ada juga yang mengartikan
kalimat “la’alla” ini sebagai ‘litarajji’ artinya harapan. Orang melakukan
puasa dengan sebuah harapan nantinya setelah selesai melakukan puasa dia akan
menjadi taqwa.
Selain itu ada juga pendapat Imam At
Thabari mengatakan bahwa “la’alla” adalah sebuah wasilah atau jalan menuju
hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan adalah taqwa tadi, maka Imam At
Thabari memberi arti mudah-mudahan dengan kita melakukan puasa taqwa itu dapat
kita raih. Tentu dengan benar-benar puasa. Menahan diri dari segala bentuk
nafsu dunia, makan, minum, menjauhi maksiat yang lain. Baik yang membatalkan
puasa ataupun yang membatalkan pahala puasa.
Taqwa sendiri mengandung arti secara
bahasa adalah berhati-hati, waspada dan takut. Berhati-hati dalam hal melakukan
maksiat kepada Allah SWT. Waspada agar tidak cepat terjerumus kedalam dosa yang
dibenci oleh-Nya dan takut akan adzab yang akan diberikan kepada siapa yang
melakukan dosa kepada Allah SWT. Demikian halnya yang di artikan oleh Thalq Bin
Habib Al-‘Anazi, “taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya
Allah, mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah, dan
takut terhadap adzab Allah”.
Demikian sekilas tentang kandungan
ayat 183 Surat Al-Baqarah yang menjadi dalil atau dasar naqli diwajibkan
berpuasa pada bulan Ramadhan seperti yang kita lakukan saat ini, bagi seluruh
umat muslim di muka bumi. Mudah-mudahan apa yang kita ikhtiarkan terkabulkan
oleh Allah SWT dan apa yang menjadi target akhir, yakni taqwa dapat kita raih.
Dan nantinya menjadikan kita lebih sempurna, bermakna hidup dalam kehidupan
ini. Dunia berharap bahagia, begitupun akhirat harus lebih bahagia karena
menjadi tujuan perjalanan panjang alam kehidupan yang kita lalui. Saya selaku
Ketua Majlis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor dan Penyuluh Agama Islam
Kementerian Agama Kota Bima menyampaikan “Selamat menjalankan ibadah puasa 1435
Hijriyah, mohon maaf lahir batin”. Wallahul Muwaffiq ila aqwamitthoriq Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Penulis
adalah Ketua Majlis Dzikir & Sholawat Rijalul Ansor GP. Ansor dan Penyuluh
Agama Islam Kementerian Agama Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar