Oleh : Musthofa Umar
Pada edisi yang lalu, saya
pernah menulis tentang “peran kyai di pesantren”. Di sana saya mengupas
peran-peran penting seorang kyai (mudabbir) atau pimpinan pondok dalam menjaga
orsinilitas pendidikan agama Islam dalam lingkungan Pondok Pesantren. Dan pada
kesempatan kali ini, saya ingin membahas secara spesifik tentang kepemimpinan
seorang kyai (mudabbir) dalam mengatur laju pendidikan dan sistem di sebuah
Pondok Pesantren di Indonesia. Dr. Rohiat mengutip pendapat Sustiana dalam
bukunya, berpendapat bahwa, Kepemimpinan ialah kemampuan untuk menciptakan
perubahan yang paling efektif dalam perilaku kelompok, bagi yang lain dia
adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok ke arah penetapan tujuan
dan pencapaian tujuan.
Namun
sebelum kita membahas tentang kepemimpinan Kyai di Pesantren, sebaiknya kita
memahami terlebih dahulu tipelogi Kyai-kyai yang ada. Abdurrahman Mas'ud memasukkan kyai kedalam lima tipologi: pertama,
Kyai (ulama) encyclopedi dan
multidisipliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar,
mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab, seperti Nawai al-Bantani. Kedua,
Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan
Islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan,
pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka, misalnya
pesantren al-Qur'an. Ketiga, Kyai kharismatik yang memperoleh
karismanya dari ilmu pengetahuan keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti
KH. Kholil Bangkalan Madura.
Keempat, Kyai
Dai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah
dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan
dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang efektif. Kelima,
Kyai pergerakan, karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar
biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, serta
kedalaman ilmu keagamaan yang dimilikinya, sehingga menjadi pemimpin yang
paling menonjol, seperti KH. Hasyim Asy'ari. Dari hasil penelitian terhadap
pesantren yang dilakukan oleh LP3ES tahun 1972-1973 di Daerah Bogor, muncul
beberapa temuan, diantaranya bahwa kepemimpinan formil pesantren dipegang oleh
seorang kyai. Maju atau mundurnya sebuah pesantren sangat bergantung pada
kredibilitas moral dan kemampuan manajerial kyainya. Pada umumnya
kepemimpimpian di pesantren menganut kepemimpinan karismatik tidak menganut
kepemimpinan rasional.
Menurut
Abdur Rozaki, kharisma yang dimiliki
kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam
masyarakat. Ada
dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama,
kharisma yang diperoleh oleh seseorang (kyai) secara given, sperti tubuh besar,
suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis dengan kyai
kharismaik sebelumnya. Kedua, kharisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam
penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian
yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.
Kepemimpinan Kyai, dapat
di deskripsikan sebagai sebuah proses dengan mana seorang menetapkan standar
tertentu, ekspektasi dan pengaruh tindakan orang lain untuk bertindak dalam apa
yang dianggap menjadi arah yang diinginkan. Kepemimpinan bukan berarti
menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran
bersama. Dalam rangka memantapkan karier diri sendiri, ada yang lebih penting
selain mengenali perasaan-perasaan terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan
dan perubahan perubahan yang membuat seseorang lebih puas dengan Pekerjaannya.
Terdapat beberapa alasan yang kurang mencolok tentang mengapa bakat-bakat
emosional bergerak menjadi ujung tombak keterampilan berbisnis yang
mencerminkan perubahan besar di tempat kerja.
Seperti halnya Saratri Wilonoyudho dalam Opininya
menulis, ”Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat untuk menuju
kebaikan bersama. Dunia mencatat seperti Mahat ma Gandhi, Kemal Ataturk,
Napoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela dan
seterusnya. Mereka bukan sekedar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa
perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan”.
Begitu halnya dengan seorang kyai, bukan hanya masyarakat yang menjadikan
beliau figur sentral tapi para santrinya. Pemimpin yang cerdas adalah orang
yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi
kebenaran (will to truth) bukan
menziarahi kekuasaan (will to power),
agar dia tidak mengalami apa yang disebut split
orientation, split orientation, yakni tidak menyatunya antara ucapan dan
tindakan.
Hal senada juga dikatakan
oleh Limas Sutanto, Psikiater
konsultan psikoterapi, wakil presiden Asia
Pacific Association of Psychotherapists asal Malang ini menulis di sebuah opininya, ”Pemimpin
bukanlah sekedar makhluk yang haus kekuasaan dan suka mengejar kekuasaan.
Memang pemimpin memerlukan kekuasaan untuk bisa memimpin dengan baik. Namun,
pemimpin tidak terbenam dalam nafsu mengejar kekuasaan. Pemimpin justru dapat
menggunakan kekuasaan secara wajar sebagai alat untuk mengejawantahkan
kepemimpinannya secara etis serta penuh tanggung jawab”.
Bagaimana dengan kyai yang berpolitik? Apakah hal itu sebuah bentuk
kepemimpinan kyai? Bisa dikatakan ia karena banyak hal yang bisa di perbuat
untuk memajukan pondok pesantren jika seorang kyai masuk dalam ranah politik.
Namun kembali ke pernyataan dua tokoh di atas, bahwa jangan hanya mengejar
kekuasaan.Ada pandangan berbeda tentang pendidikan James J. Jones dan Donald L.
Walters dalam bukunya Management in
Education di menulis, ”Pengelolaan dan perencanaan program-program
pendidikan yang baik di zaman sekarang ini hanya bisa terjadi di negara yang
secara historis memiliki latar belakang ekonomi, politik, dan sosial yang
secara terus-menerus mengalami perkembangan. Mengingat gagasan-gagasan yang ada
dalam tiga latar belakang pendidikan tersebut sangat berdampak pada segala
macam bentuk perencanaan pendidikan, maka ketiga latar belakang tersebut tak
pelak lagi harus berhubungan dengan sumber daya manusia yang ada di dalamnya”.
Hal ini sangat baik jika dipegang oleh kyai atau orang-orang yang
benar-benar ”kyai” dan menegakkan kebenaran untuk mensejahterakan ekonomi dan
pendidikan masyarakat / rakyat melalui jalur politik yang mereka perjuangkan. Coba
kita lihat tulisan Muhammad Muhibbudin
dalam opininya, yang di muat Harian Jawa Pos beberapa waktu lalu, ”Berdasar
paradigma semiotika-strukturalisme saussure, kata kyai adalah penanda (signifier) yang mempresentasikan makna
(petanda/signified) tentang seorang
yang alim dan cendekia dalam keilmuan keagamaan. Dari sisi semangat keilmuannya
itu, seorang kyai adalah seorang intelektual atau cendekiawan, sebagai seorang
intelektual, tanggung jawab moral utama para kyai adalah memberikan pencerahan
kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang mereka miliki”.
Termasuk dalam hal ini, kyai setiap pemilu harus menjadi rujukan masyarakat
maka tidak ada salahnya kalau kyai mengerti dan paham urusan politik
karena dia adalah pemimpin. Dengan keilmuannya itu, para kyai disimbolkan
sebagai lentera yang menerangi masyarakat. Perannya di masyarakat diharapkan
mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan (darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai sektor kehidupan.
Pendapat ini juga senada dengan tulisan opininya Yahya C. Staquf dalam Dekadensi Politik Kiai, dia menulis bahwa, ”Melanjutkan
tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisongo, sosok kyai hadir terutama
sebagai misionaris. Dalam perkembangan kiprahnya, kyai beserta para pengikutnya
membangun komunitas tersendiri yang independen –oleh Gus Dur digambarkan
sebagai subkultur, di mana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia
mengayomi kehidupan pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala
tungkus-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari dan sering harus
mengonsolidasikan mereka untuk menghadapi dunia luar. Dalam konteks ini jelas
bahwa kyai pada dasarnya juga pemimpin politik”.
Lebih luas arti pemimpin dalam sosok seorang kyai, Imron Arifin dalam bukunya tentang Kepemimpinan Kyai dalam
Perubahan Manajemen Pondok Pesantren Kasus Ponpes Tebuireng Jombang, menulis bahwa, ”kepemimpinan kyai identik
dengan kepemimpinan Islam yang ditandai dengan istilah khalifah yang berarti wakil Tuhan untuk menjaga dan melestarikan
bumi, ada pula yang memberi istilah amir kata
jamak dari umara yang berarti
pemimpin formal keagamaan yang disebut ulil
amri”. Sesuai dengan Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Kepemimpinan kyai secara normatif dilandasi empat prinsip. Pertama, prinsip tauhid yaitu
menggerakkan kepemimpinannya untuk bertaqwa kepada Allah SWT, sesuai dengan
firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 118, ”
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya”.
Kedua, akuntabilitas
spiritual yaitu pertanggungjawaban pribadi dan organisasi tidak saja berdimensi
horizontal, tetapi juga transendental. Ketiga, prinsip keadilan dalam memutuskan segala perkara tanpa
memandang kepentingan dan perbedaan. Hal ini Allah juga menegaskan dalam firman-Nya
di surat Shad ayat 26, “Hai Daud,
Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. Keempat, prinsip
kesederhanaan dan konsep pemberian layanan. Keberadaan kyai pesantren sebagai
pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, menurut Arifin dipandang
sebagai fenomena kepemimpinan yang unik. Dikatakan unik karena sebagai pemimpin
sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar bertugas menyusun kurikulum,
membuat peraturan tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus
melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di
lembaga yang diasuhnya, melainkan bertugas pula sebagai pendidik dan pembina
umat serta menjadi pemimpin masyarakat.
Sikap dan gaya hidup sederhana
seorang pemimpin / kyai sebagai pewaris Nabi tentunya tidak jauh dengan ajaran
Rasulullah SAW. Beliau sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan
pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena
kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun
pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau.
Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah
merasa lain, atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.
Memang tidak mudah untuk bersikap
biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka
yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga
ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang
semula biasa dan sederhana, ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi
pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau
terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian
rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan
orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan
terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak
terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba
Allah.
Posisi
kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham
pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan
aspek manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga
sebagai pemilik persantren. Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri
dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai
peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar,
dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya).
Nah dalam actionnya Kyai
adalah mempengaruhi atau mendorong faktor-faktor intern keberhasilan santri di
Pondok Pesantren. Di mana, faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam
diri individu santri itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor
intern yaitu kecedersan/intelegensi, bakat, minat dan motivasi. Misalnya dalam
hal kecerdasan, Kecerdasan
merupakan salah satu aspek yang penting, dan sangat menentukan berhasil
tidaknya studi seseorang. Kalau seorang murid mempunyai tingkat kecerdasan
normal atau di atas normal maka secara potensi ia dapat mencapai prestasi yang
tinggi. Tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang
mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.
Lalu
kyai juga mendorong santri dalam mewujudkan bakat-bakat mereka. Bakat diartikan
sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tanpa banyak bergantung pada
upaya pendidikan dan latihan. Dari itu tumbuhnya keahlian tertentu pada seseorang
sangat ditentukan oleh bakat yang dimilikinya sehubungan dengan bakat ini dapat
mempunyai tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Dalam
proses belajar terutama belajar keterampilan, bakat memegang peranan penting
dalam mencapai suatu hasil akan prestasi yang baik.
Selain
bakat, minat juga tidak bisa dianggap remeh. Minat adalah kecenderungan yang
menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang / hal tertentu dan
merasa senang berkecimpung dalam bidang itu. Minat juga bisa merupakan
kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan,
kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus yang disertai dengan rasa
sayang. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan.
Bahkan pelajaran yang menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan
karena minat menambah kegiatan belajar. Untuk menambah minat seorang siswa di
dalam menerima pelajaran di sekolah siswa diharapkan dapat mengembangkan minat
untuk melakukannya sendiri. Yang terpenting adalah Motivasi
dalam belajar, karena ini adalah faktor
yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa
untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah
bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam
kegiatan belajar mengajar sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai
motivasi untuk belajar. Motivasi
adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi
bisa juga diartikan menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin
melakukan sesuatu.
Dalam
perkembangannya motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (a) motivasi
instrinsik dan (b) motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik dimaksudkan dengan
motivasi yang bersumber dari dalam diri seseorang yang atas dasarnya kesadaran
sendiri untuk melakukan sesuatu pekerjaan belajar. Sedangkan motivasi
ekstrinsik dimaksudkan dengan motivasi yang datangnya dari luar diri seseorang
siswa yang menyebabkan siswa tersebut melakukan kegiatan belajar. Dalam
memberikan motivasi seorang guru harus berusaha dengan segala kemampuan yang
ada untuk mengarahkan perhatian siswa kepada sasaran tertentu. Dengan adanya
dorongan ini dalam diri siswa akan timbul inisiatif dengan alasan mengapa ia
menekuni pelajaran. Untuk membangkitkan motivasi kepada mereka, supaya dapat
melakukan kegiatan belajar dengan kehendak sendiri dan belajar secara aktif.
Kepemimpinan
ialah kemampuan untuk menciptakan perubahan yang paling efektif dalam perilaku
kelompok; bagi yang lain, dia adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan
kelompok ke arah penetapan tujuan dan pencapaian tujuan. Kepemimpinan bukan berarti menguasai, melainkan seni
meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama. Dalam rangka
memantapkan karier diri sendiri, ada yang lebih penting selain mengenali
perasaan-perasaan terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan dan
perubahan-perubahan yang membuat seseorang lebih puas dengan pekerjaannya.
Terdapat beberapa alasan yang kurang mencolok tentang mengapa bakat-bakat
emosional bergerak menjadi ujung tombak keterampilan berbisnis yang
mencerminkan perubahan besar di tempat kerja.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar