Oleh : Musthofa
Umar
Tulisan
saya kali ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya dalam “Pendidikan
Pesantren Bukan Alternatif”. Ingin memberikan pengetahuan utuh kepada pembaca
agar memahami betul Pondok Pesantren, sehingga tidak ragu-ragu memasukkan
putra-putrinya untuk menimba ilmu di Pesantren atau dalam mengelola Pesantren
untuk kalangan Pondok Pesantren yang belum maksimal dalam menerapkan ‘pesantren
ideal’ yang bisa bersaing dengan pendidikan-pendidikan umum negeri yang ada. Pondok
pesantren mungkin sudah tidak asing lagi di negeri kita, karena begitu
banyaknya pondok-pondok pesantren yang tersebar di nusantara ini. Namun, banyak
dari pondok pesantren hanya tinggal kyainya (mudabbir) saja atau sebaliknya
pondok pesantren hanya tinggal santrinya saja. Yang paling
memprihatinkan banyaknya pondok pesantren yang hanya tinggal namanya saja.
Zuhairini (1997) dalam bukunya Sejarah
Pendidikan Islam menulis, sejak awal masuknya Islam ke Indonesia,
pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya
sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa
lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah
sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah
penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan
memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda
tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah
ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan
Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan
pendidikan Islam. Sebagaimana penuturan Dhofier (1985) Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, pada tahun 1882 pemerintah Belanda
mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu,
dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama
yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan
yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh
memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan
yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya
atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut
membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap
pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga
menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam
administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah
umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren
sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah
anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun
dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum
yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil
mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat
peraturan-peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama
bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk
menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam,
dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas.
Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan
pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang
dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di
Indonesia. Hasbullah (1999) dalam Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, berpendapat memang ada beberapa orang
yang membedakan antara pondok dan pesantren, namun sebenarnya hal itu sangat
berkaitan erat. Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang
merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.
Di Jawa, besarnya pondok
tergantung pada jumlah santrinya. Ada pondok yang sangat kecil dengan jumlah
santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan
jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri,
asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Kompleks
sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah
kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin,
koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan
pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang
bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari
yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat
latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka
siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus
memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara
lingkungan pondok. Dhofier (1985) mengatakan dalam Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, bahwa sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren
yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain
seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem
yang digunakan di Afghanistan.
Kalau kita lihat data terakhir 2007,
jumlah pondok pesantren yang tersebar di seluruh nusantra dari data yang
dikeluarkan sebuah situs, www.pondokpesantren.net
sebanyak + 15.558 (lima belas ribu
lima ratus lima puluh delapan) pondok pesantren dan dari jumlah ini, tercatat sejumlah + 3.042.552 (tiga juta empat puluh dua ribu lima ratus
lima puluh dua) putra dan putri baik santri yang mondok (mukim) ataupun
santri yang colokan (Kalong). Sebenarnya apa dan bagaimana munculnya
pertama kali istilah pondok pesantren itu? Imron Arifin,
dalam bukunya, kepemimpinan kyai dalam perubahan manajemen pondok pesantren
ksus ponpes Tebuireng Jombang, beliau menulis sejarah atau istilah pondok
pesantren yakni : “...pada awalnya pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya diberikan dengan cara non-klasikal (sistem pesantren), dimana
seorang kyai mengajar santri-santri (siswa) berdasarkan kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad
ke-12 s.d. ke-16).”
Definisi singkat istilah ”pondok”
adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para
santrinya. Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Seperti
anggapan Shofiyullah Mz, bahwa: “...perbincangan
tentang pesantren mengingatkan kita akan peran strategis yang telah diembannya
selama ini dalam memback up tumbuh berkembangnya Islam di tanah air, khususnya
pulau Jawa. Sehingga sangat beralasan,
bila kemudian pesantren tetap dicitrakan oleh
sebagian masyarakat muslim kita
sebagai institusi yang berorientasi
pada etos keilmuan yang berbasis
moralitas keagamaan..”. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat
para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari
istilah sanskerta “sastri” yang
berarti “melek huruf”, atau dari
bahasa Jawa “cantrik” yang berarti
orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi.
Dari sini kita
memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni Santri, Kyai dan
Asrama. Munib Huda Muhammad (1998) dalam Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab Sebuah Pergumalan Wacana dan
Transformasi menulis, Kata
pesantren juga berasal dari kata santri, bahasa lokal, yang kemudian diambil
dan diberi makna yang menunjukkan kegiatan mencari ilmu dan melaksanakan
ibadah.
Lain halnya dengan cerita tentang
bagaimana pondok pesantren jaman wali songo. Sebuah kisah tentang salah satu
wali songo, Sunan Ampel Surabaya dalam membangun pondok pesantren jaman
tersebut. Seperti yang dituturkan KH. Muzakki Ridlwan Pengasuh Pondok Pesantren
Madrasatul Qur’an Sukorejo, saat menerima kunjungan beberapa pimpinan-pimpinan
pondok pesantren se-Lombok Barat NTB. Saat itu salah satu perwakilan TGH (Tuan Guru Haji), gelar kyai di pulau
Lombok, bertanya tentang bagaimana pondok pesantren di Jawa besar-besar dan
banyak santrinya, KH. Muzakki Ridlwan menjawab singkat, “Kalau melihat sejarah
berdirinya pondok pesantren jaman wali songo Sunan Ampel dulu, pondok itu
dibangun setelah santrinya datang mengaji. Dulu Sunan Ampel kedatangan murid
dari jauh dan untuk pulang takut akhirnya nginap
(bermalam) di kediaman Sunan Ampel. Nah lama-kelamaan yang menginap kok semakin banyak, akhirnya Sunan Ampel
membangunkan tempat menampung mereka, yang disebut pondokan. Semakin hari semakin banyak, bangunanpun bertambah, tidak seperti
kita, bangunannya dulu jadi, megah baru memanggil santri”.
Kompleks sebuah pesantren memiliki
gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad,
gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau
lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan
kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang
dibutuhkan. Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat
asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk
mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam
masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci
pakaian sendiri dan diberi tugas seperti
memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri
khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan
sistem pendidikan Islam lain. Demikian halnya AM.Fatwa berpendapat, “Secara historis, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat
penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran
pesantren di Nusantara. Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat
ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu
agama seperti fiqh, tasawuf, dan aqidah”.
Di asrama sebuah pondok pesantren
kyai atau ustad lebih fokus dan leluasa untuk mentransfer segala macam ilmu
untuk menjadi bekal santri-santrinya setelah pulang dan hidup di masyarakat
kelak. Krena di asrama santri hanya dituntut untuk belajar segala macam ilmu
tentunya yang bermanfaat untuk kemaslahatan agama, bangsa dan negara. Hal ini
sangat berbeda jauh dengan yang bukan santri atau orang-orang yang tinggal di
luar asrama, karena bisa saja begitu pulang dari sekolah dia akan lebih banyak
bergaul dengan lingkungan yang bermacam-macam, apalagi jika kontrol orang tua
sangat lemah kepada anak-anaknya. Akan tetapi, di pondok pesantren, para santri
hanya bergaul dengan lingkungan yang mendukung ke arah terciptanya sifat-sifat
yang baik.
Arti sederhana
pondok pesantren seperti yang dikatakan Dhofier yang dikutip oleh Imron Arifin
dalam bukunya, bahwa : “Pondok pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe
dan diakhiri dengan an, yang
berarti tempat tinggal santri. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa,
pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama
untuk tempat tinggal para santrinya”. Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan
besar muslim Indonesia membagi pesantren dalam karyanya ”Bilik-bilik Pesantren”
terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus zaman, ke
dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh
gairah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat
modernitas. Pesantren kedua, pesantren
yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang
positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami
aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian
semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren
yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi.
Pesantren adalah bentuk pendidikan
tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang
berjudul “Bilik-bilik Pesantren” menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna
keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Banyak dari kita yang
memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa
bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan
mutlak para santri pada kyainya, di sisi lain, tidak sedikit yang mengenal
pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam
sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Begitupula begitu besarnya sumbangsih
pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik
dan keagamaan.
Dalam sejarahnya, misalnya Pesantren
Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat
penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren
Ampel Denta menjadi tempat para wali yang mana kemudian dikenal dengan sebutan
wali songo atau sembilan wali menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal
Minang, Datuk ri Bandang, membawa
peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia
bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan
Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.
Di awal Abad 19, Kiai Besari dari
Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa
banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi
serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan
merestui KH Hasyim Asy’ari atau Hadratus Syeikh, santrinya dari pesantren Tebu
Ireng – Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi
organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang
sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Mekkah, KH Ahmad Dahlan
pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran “pesantren moderen”
seperti Pondok Gontor – Ponorogo. Alur ‘moderen’ ini juga ditempuh A. Hasan
dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan
surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.
Setelah
Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan
Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri
Agama, M Natsir dan yang lebih penting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili
tokoh yang muncul dari kalangan pesantren. Ketahanan yang ditampilkan pesantren
dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga
pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya. Hal tersebut mampu
menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat
dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.
Dalam kaitannya
dengan issue terorisme di kalangan
pesantren, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, pertama, mampukah dunia
pesantren membumikan harapan-harapan tersebut dengan serangkaian upaya dan
langkah, seperti yang dikatakan oleh Lily
Zakiyah Munir, direktur Center for
Pesantren and Democracy Studies (Cepdes). Kedua, seberapa murnikah
pendidikan pesantren tersebut mampu mempertahankan nilai-nilai (values system) yang diterapkan di
pesantren itu sendiri, yaitu termasuk di dalamnya antara lain: pertama, prinsip
tawâsuth yang berarti tidak memihak
atau moderasi. Kedua, tawâzun, atau
menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasâmuh,
atau toleransi. Keempat adl atau
sikap adil dan kelima tasyâwur atau
prinsip musyawarah dan pancasila pesantren inilah nantinya menjadi bekal bagi
para santri dalam proses bersosialisasi di masyarakat. Ketiga, benarkah
pesantren sebagai tempat perkecambahan (breeding
ground) radikalisme Indonesia?! Wallohua’lamu bishshowab...
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar