Oleh : Musthofa Umar
Menurut asal usulnya,
perkataan Kyai bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa yang dipakai
dalam tiga jenis gelar yang saling berbeda bisa benda, materi, maupun manusia
yang diukur dari masing-masing sifatnya yang istimewa, ketiga gelar tersebut
antara lain; pertama, sebagai
gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya
"Kyai Shaleh" dipakai untuk sebutan seekor kerbau putih Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya dan ketiga, gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada
santrinya. Selain gelar Kyai, ia sering juaga disebut seorang alim (orang yang
dalam pengetahuan Islamnya).
Lain
halnya dengan Zimek dalam tulisan Imron Arifin, dan Muhammad Selamet,
dalam “Kepemimpinan Kyai dalam Perubahan Manajemen Pondok Pesantren : Kasus
Ponpes Tebuireng Jombang” yang mengutip pendapat, “Istilah kyai bukan berasal
dari bahasa Arab melainkan berasal dari bahasa Jawa. Kyai memiliki makna yang
agung, keramat dan dituahkan. Untuk benda-benda yang dikeramatkan dan dituahkan
di Jawa seperti kris, tombak, dan benda lain yang keramat di sebut kyai. Selain untuk benda keramat, gelar
kyai juga diberikan kepada laki-laki berusia lanjut, arif dan dihormati”.
Sedangkan Saefuddin Zuhri, dalam
bukunya Guruku Orang-orang Pesantren mengatakan; “kyai itu harus paling alim,
benar-benar telah teruji kedalaman serta keluasan ilmunya, dan tentu saja
dengan sendirinya yang paling berwibawa”.
Dakwah
dan penyebaran Islam di Nusantara pertama kali dijalankan oleh Wali Songo.
Setelah masa Wali Songo berakhir, para ulamalah yang melanjutkannya hingga masa
kini. Para ulama melakukan dakwah dengan
segenap komitmen dan keseriusan mereka. Ulama
seperti dikatakan Lathiful
Khuluq dalam bukunya, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H.
Hasyim Asy’ari mendifinisikan
kyai, gelar untuk
ulama, pemimpin agama, pemimpin
pesantren, dan guru senior di Jawa.
Kata
ini juga digunakan untuk menghormati
barang maupun binatang yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa. Begitu
halnya dengan Saefullah dalam
bukunya, KH. Badri Masduqi Kiprah dan Keteladanan. Dalam tulisannya, kyai
adalah ulama, ”para ulama mengabdikan hidup dan perjuangan mereka demi
kepentingan Islam dan demi umatnya. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan
seorang tokoh mampu memberi inspirasi kepada generasi sesudahnya. Sepak
terjang, perjuangan dan pengabdiannya dari lahir hingga meninggal menjadi bahan
pelajaran berharga.” Dan seorang kyai / ulama dalam memimpin sebuah pondok
pesantren adalah bentuk lanjutan perjuangan dan pengabdiannya untuk agama Islam
yang telah diwariskan para Wali Songo sampai ke atas Nabi Muhammad SAW. Perlu
ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan umat Islam
disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur mereka yang memimpin pesantren disebut Kyai, dan di Madura disebut Mak Kyae, Bendara atau Nun. Dengan
kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar kyai biasanya dipakai
untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.
Dengan demikian, kyai jelas merupakan elite ulama. Dia merupakan seorang
guru dan pemberi fatwa. Namun, tidaklah
ada ketentuan bahwa seorang kyai hanya boleh memberikan fatwa tentang masalah
agama, dan dilarang menyinggung masalah yang agak jauh dari urusan keimanan
atau ibadah, misalnya tentang aspek bola. Segala pernik kehidupan bisa saja diperbincangkan
dengan dan oleh seorang kyai. Hal itu dimungkinkan terjadi karena kyai dalam
sosok idealnya semacam guru spiritual. Selain itu, kyai mendapat sebutan Ulama
yaitu orang yang selain selama hidupnya dengan khusuk menjalankan ibadah
semata-mata karena Allah, juga mendalami ilmu pengetahuan agama dan memiliki
kewenangan dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an dan al-Hadits untuk menjadi rujukan
masyarakat umum.
Manfred Ziemek dalam bukunya Imron Arifin, menjelaskan, "Pengertian
lebih luas di Indonesia sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan
pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya
untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan
Islam melalui kegiatan pendidikan." Misi utama dari kyai adalah sebagai
pengajar dan penganjur dakwah Islam (preacher) dengan baik. Ia juga
mengambil alih peran lanjut dari orang tua, ia sebagai guru sekaligus pemimpin
rohaniah keagamaan serta bertanggung jawab untuk perkembangan kepribadian
maupun kesehatan jasmaniah anak didiknya. Dengan otorita rohaniah, ia sekaligus menyatakan hukum dan
aliran-alirannya lewat kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren
binaanya. Para kyai berkeyakinan bahwa mereka adalah pewaris dan penerus
risalah nabi, sehingga mereka tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama, tetapi
juga hukum dan praktik keagamaan, sejak dari hal yang bersifat ritual sampai
prilaku sehari-hari. keberadaan kyai akan lebih sempurna apabila memiliki
masjid, pondok, santri dan ia ahli dalam mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.
Dengan demikian predikat kyai berhubungan langsung dengan suatu gelar
kerohanian yang dikeramatkan, yang menekankan kepada kemuliaan dan pengakuan,
yang diberikan secara sukarela kepada ulama Islam pemimpin masyarakat setempat.
Hal ini berarti sebagai suatu tanda kehormatan bagi suatu kedudukan sosial dan
bukan gelar akademis yang diperoleh melalui pendidikan formal. Mereka yang
pandai dan fasih membaca Al-Qur'an (ada kalanya menghafalnya), pandai membaca
kitab-kitab gundul (kitab kuning menurut istilah sekarang) yang menyebabkan
mereka mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh,
tauhid/ushuluddin, tafsir, hadits, tasawuf, tarikh, nahwu-sarraf dan ilmu-ilmu
falak, mantiq, hikmah dan lain sebagainya.
Di samping mempunyai kualitas ilmu yang demikian sekaligus mereka mempunyai
kualitas kesalehan, ketakwaan dan integritas kemasyarakatan yang diakui oleh
lingkungannya. Sebutan umum bagi mereka adalah "Syaikh" dan
mereka yang lebih menonjol kesalehan dan ketakwaannya, biasanya disebut "Wali".
Di samping sebutan umum tersebut, ada pula sebutan lokal, misalnya, kyai (di Jawa), anregurutta (di Bugis), tuan
guru (di NTB), tetap kemudian sebutan Kyai telah menjadi umum dipakai di
seluruh Indonesia. Sebagaimana firman
Allah suat Faatir ayat 28, ”Dan
demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Lalu kedudukan kyai yakni,
menurut penelitian Horikhosi, kyai adalah figur yang berperan sebagai penyaring
informasi dalam memacu perubahan di
dalam pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kedudukan kyai adalah
pemegang pesantren yang menawarkan agenda perubahan sosial keagamaan, baik yang
menyangkut masalah interpretasi agama dalam kehidupan sosial maupun perilaku
keagamaan santri, yang kemudian rujukan masyarakat. Kedudukan kyai di sebuah
pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada
para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal
yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di
sekitarnya.
Pendek
kata, kyai berperan
sebagai sosok, model atau contoh yang baik (uswah hasanah) tidak saja
bagi para santrinya akan tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar
pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz mengemukakan
bahwa kyai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan
sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator atas arus informasi
yang masuk ke lingkungan kaum santri. Kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa
suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan
sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam
kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain
yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai
lain yang lebih besar pengaruhnya.
Para santri mengharap dan berpikir bahwa
kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-con
fident) baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun dalam bidang
kekuasaan dan manajemen pesantren. Meskipun kebanyakan kyai di Jawa tinggal di
daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok ellite dalam
struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu
kelompok, para kyai yang memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa merupakan
kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia. Kebanyakan mereka
memiliki sawah yang cukup, namun tidak perlu tenggelam dalam pekerjaan sawah.
Mereka bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar, yang memiliki kedudukan
tinggi di masyarakat. dan untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengajar
dan penganjur Islam (preacher) dengan baik, mereka perlu memahami
kehidupan politik. Mereka dianggap dan menganggap diri memiliki suatu posisi
atau kedudukan yang menonjol baik pada tingkat lokal maupun nasional.
Dengan demikian, mereka
merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial orang
Jawa, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga dalam soal-soal
politik. Profesi mereka sebagai pengajar dan penganjur Islam membuahkan pengaruh
yang melampaui batas-batas desa (bahkan Kabupaten) di mana pesantren mereka
berada. Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali
dilihat sebagai orang yang senantiasa
dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
memiliki kedudukan yang tidak
terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.
Di samping itu kyai-kyai
merupakan sektor kepemimpinan Islam yang
dianggap paling dominan, dan selama berabad-abad telah memainkan peranan yang
menentukan dalam proses perkembangan sosial, kultural, keagamaan dan politik.
Dalam periode sekarang pun para kyai telah menunjukkan vitalitasnya dalam
kepemimpinan Islam. Di tengah-tengah meningkatnya pembangunan ekonomi, para
kyai telah dianggap sebagai salah satu
kelompok pimpinan yang menonjol dalam
memenuhi kebutuhan akan kepemimpinan moral bagi bangsa Indonesia. Para kyai dengan
kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali dilihat sebagai orang yang
senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan
demikian mereka memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh
kebanyakan orang awam.
Dalam bidang pendidikan
kyai memusatkan kegiatannya dalam suatu lembaga yang disebut "pesantren"
yang merupakan lembaga yang sering kali didirikan dan sekaligus dipimpinnya
sendiri, maka sudah sewajarnyalah bila pertumbuhan dan perkembangan suatu
pesantren semata-mata bertumpu dan bergantung pada kemampuan pribadi kyainya.
Oleh karenanya maka kyai merupakan unsur
atau elemen yang paling esensial dan pokok dalam suatu pesantren. Kekuasaan
seperti yang digambarkan di atas dengan sendirinya kyai memperoleh kedudukan di
lingkungan pesantren, dan lingkungan sekitarnya. Karena dia tidak hanya
dibutuhkan oleh santrinya saja, melainkan juga dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari uraian di atas jelas
bahwa kyai mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam meningkatkan sarana
dan prasarana yang ada di pondok pesantren yang dipimpinnya. Di samping itu
kebanyakan kyai mempunyai kesan yang baik di mata masyarakat sebagai orang yang
mempunyai kelebihan dibidang spiritual. Selain itu kyai juga dianggap oleh
masyarakat sebagai sosok yang menjadi suriteladan. Sehingga dalam kedudukan itu
Sunyoto dalam bukunya Imron Arifin berpendapat, bahwa : "kyai dapat disebut
sebuah agent of change dalam
masyarakat yang berperan penting dalam suatu proses perubahan sosial".
Kehadiran ulama beberapa
abad lalu di bumi Nusantara sekaligus menandai kehadiran agama Islam. merekalah
yang memperkenalkan agama samawi ini kepada rakyat. Mereka hadir di
tengah-tengah rakyat, hidup dan bergaul mesra dengan mereka. Mereka mengajar
dan mendidik rakyat; mereka membantu rakyat yang mengalami kesulitan dengan
bimbingn rohani yang menenteramkan jiwa mereka dan kadangkala memberinya
pengobatan fisik bilamana mereka menderita sakit. Mereka ikut memelihara
perdamaian dan kerukunan masyarakat melalui ishahu dzatil bain,
peningkatan silaturrahim dan pemupukan Ukhuwah Islamiyah, yang sebagian
dibina lewat tarekat-tarekat. Pembinaan yang paling nyata dilakukan lewat
pondok-pondok pesantren. Karena integritas mereka dengan kepentingan masyarakat
dapat sejalan, maka mereka mencintai dan dicintai oleh masyarakat, bahkan lalu
dihormati dan dipatuhi.
Didukung dengan
syarat-syarat yang lain, seorang ulama pastilah berada pada posisi yang
mempunyai kewenangan dan secara mudah dapat menduduki setiap strata sosial
masyarakatnya. Dari sini mereka akan berfungsi sebagai pemain penting dalam
mempengaruhi pendapat, cara berpikir bahkan perilaku warganya. Orang seperti
ini dilihat dari fungsinya disebut pemimpin opini (opinion leader);
dilihat dari aspek terjadinya disebut pemimpin kharismatik (charismatic
leader); dan dilihat dari cara memimpinnya disebut pemimpin persuasif (persuasive leader). Banyak ulama
karena membela dan menegakkan kebenaran difitnah dan harus meringkuk di penjara
atau bahkan dibunuh oleh penguasa yang lalim. Kecuali mereka yang mampu
"bersiasat" dalam menjalankan peran "kenabian dan
kerasulan" mereka.
Adapun tugas ulama dalam
fungsinya sebagai pemimpin adalah menjadi motivator, dinamisator dan
stabilitator. Sedang dalam fungsinya sebagai ahli agama ia menjadi sumber
konsepsional, titik tolak dalam perbuatan dan titik akhir yang tidak boleh
dilanggar.
Adapun fungsi kyai menurut
Horikoshi yang dikutip oleh Imron Arifin dapat dilihat dalam tiga
aspek yaitu : Sebagai Pemangku Masjid
dan Madrasah. Kyai baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan senatiasa
menjadi pemangku masjid, karena masjid merupakan tempat dimana juga digunakan
sebagai tempat pengajian dan pengabdian para ahli ilmu agama dalam
mentransformasikan ilmu agama pada pengikutnya. Kyai juga berfungsi, sebagai
Pengajar dan Pendidik. Fungsi kyai sebagai pengajar dan pendidik lebih tampak
pada lembaga pendidikan pesantren, di mana pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional telah memberikan pendidikan agama yang sistematik untuk para kader
kyai serta orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengemban kepemimpinan
sosial, keagamaan di tengah-tengah masyarakat. kyai yang memiliki ilmu agama
yang mendalam dan memiliki lembaga pendidikan baik pesantren atau madrasah akan
lebih dalam mentrasformasikan ilmunya kepada santri atau para muridnya.
Dan
fungsi lain seorang kyai adalah, Sebagai Ahli dan Penguasa Hukum
Islam. Agama Islam merupakan agama yang mengandung seperangkat
hukum yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan fungsi dari kyai
atau ulama bukan hanya untuk mengajar dan memberi informasi tentang hukum,
tetapi juga untuk menginterpretasikan dan memperkuat peraturan-peraturan yang
telah ada. Kyai sebagai orang yang menguasai dan paham tentang hukum dituntut
dapat menafsirkan dan melaksanakan hukum sesuai dengan apa yang telah
ditentukan agama, sehingga hukum tersebut dapat dipahami semua lapisan sosial.
Yang lebih penting lagi fungsi kyai dan ulama sebagai mata rantai yang dapat
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya baik yang menyangkut
masalah keluarga, sosial maupun keagamaan.
Di samping itu kyai juga berkedudukan sebagai hakim atau penengah dari
suatu persoalan yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Jika yang terjadi
bersifat keagamaan atau dengan agama saja masalah itu dapat diselesaikan atau
bisa dicari pemecahannya lebih jauh lagi.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar