Oleh :
Musthofa Umar
Akhir-akhir
ini, di daerah Jawa banyak orang yang malah memasukkan putra-putri mereka ke
Pondok Pesantren, beberapa Pondok Pesantren penuh pendaftar, sebelum buka
pendaftaran. Contoh misal di Pondok Pesantren tempat penulis menimba ilmu
selama ini, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur,
pendaftar selalu membludak dari segala penjuru Indonesia bahkan Malaysia dan
Brunai Darussalam. Di samping murah meriah, kegiatan extrakulikulernya banyak,
sehingga para orang tua tidak segan-segan memasukkan putra-putri mereka ke
Pondok Pesantren. Para orang tua tentu berharap kelak, putra-putri mereka
mempunyai modal kuat dalam beragama, untuk menghadapi degradasi moral anak-anak
bangsa saat ini. Namun lain halnya dengan NTB banyak Pondok Pesantren malah
memperihatinkan kondisi santri-santrinya, apalagi di Kota Bima, banyak Pondok
Pesantren malah diisi oleh anak-anak yang dari Kabupaten Bima walaupun
tempatnya di Kota Bima. Entah karena para orang tua yang kurang resfek terhadap
Pondok Pesantren, ataukah Pondok Pesantren yang kurang memberi magnet kepada
masyarakat suapaya masyarakat tertarik memasukkan putra-putri mereka ke Pondok
Pesantren.
Bulan
Juni-Juli adalah bulan penerimaan siswa baru, tentu Pondok Pesantren dimanapun
juga membuka pendaftaran santri baru. Nah kita sebagai orang tua, harus bijak
dalam menilai pesantren sehingga tidak menganggap pendidikan pesantren adalah
alternatif, sehingga hanya kita ‘lirik’ kalau anak kita tidak lulus atau tidak
diterima di sekolah negeri. Sangat keliru kalau Anda berpikir seperti itu,
pesantren di bawah naungan Kementerian Agama dan sekolah umu di bawah naungan
Kementerian Pendidikan Nasional tentu kurikulumnya sama, alumninya sama,
kewajiban pendidikan dasar sama, dana bantuannya sama. Hal ini, jauh berbeda
dengan 20 tahun yang lalu, pendidikan pesantren (agama) sangat dibedakan dengan
pendidikan umum. Namun reformasi 1998 membawa berkah bagi lembaga-lembaga agama
dan keagamaan.
Kondisi
ini masih belum kita ‘membaca’ kenapa banyak anak-anak generasi Indonesia saat
ini mengalami degredasi moral –rusak—karena kita selama ini terlalu
menskreditkan pendidikan agama, memandang pendidikan agama dengan ‘sebelah
mata’. Seolah-olah agama hanya ceramah, khutbah, ngaji al-Qur’an lalu anda bisa
agama. Tidak seperti itu, mengaji agama penting, namun mengkaji kandungan
agama, ini yang sering kita tidak paham. Dengan kondisi anak-anak bangsa yang
saat ini seperti yang banyak kita saksikan di TV sudah saatnya Pondok Pesantren
adalah jawaban dari semua masalah degredasi moral anak-anak bangsa Indonesia
saat ini.
Kualitas
memang penting, dari itu hendaknya Pondok Pesantren juga harus berbenah dalam
hal demikian. Kualitas guru (ustadz/ustadzahnya) harus mampu bersaing dengan
pendidikan umum atau agama negeri sekalipun. Fasilitas penunjang haruslah
diberikan dan diperhatikan juga oleh pemerintah. Guru untuk mata pelajaran umum
seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika dll pemerintah membagi rata penugasannya
karena termasuk bagian dari pendidikan dasar yang wajib untuk anak bangsa. Dan
kebanyakan Pondok Pesantren di NTB saya lihat kurang ‘peduli’ nya para
pengambil kebijakan (pemerintah) untuk membenahi pendidikan-pendidikan agama di
pondok pesantren (swasta). Kalau boleh kita contohkan di Jawa, kebijakan
pemerintahnya luar biasa, dengan menugaskan beberapa guru negeri untuk mengajar
di Pondok-pondok Pesantren, di samping fasilitas yang diberikan sama dengan
yang diberikan kepada sekolah umum/agama negeri. Di samping usaha dan upaya
Pondok Pesantren sendiri dalam meningkatkan daya saing dengan lembaga-lembaga
pendidikan yang lain. Inilah yang menyebabkan Pondok Pesantren di Jawa sangat
timpang dengan Pondok Pesantren yang ada di NTB apalagi Kota Bima.
Perhatian
masyarakatnya luar biasa, memasukkan anak-anak mereka ke Pondok Pesantren dan
mendukung kegiatan-kegiatan Pondok Pesantren dalam bentuk amal jariyah, baik
Infaq, Shadaqah, Hibbah, Wakaf dan Zakat. Dari sinilah Pondok Pesantren bisa
hidup dan mempunyai semangat dalam mengembangkan pendidikannya. Sehingga pula
Pondok Pesantren tidak terkesan ‘kolot’, kotor dan terbelakang. Banyak contoh
Pondok Pesantren yang besar, modern dan menghasilkan alumni-alumni yang menjadi
petinggi Negeri ini. misalnya Pondok Pesantren Moderen Gontor, Krapyak, Lasem,
Jombang, dan lain sebagainya. Alumninya Hidayat Nur Wahid, Din Syamsuddin,
Sa’id Aqil Siradj, Sa’id Aqil Al-Munawwar dan banyak lagi tokoh-tokoh Nasional
kita yang alumni Pondok Pesantren. Jadi alumni dan kualitas keluaran Pondok
Pesantren jangan dianggap remeh. Jika dikelola dengan baik dan kualitas, maka
hasilnyapun akan berkualitas dan baik pula.
Reformasi
dalam bidang pendidikan, harus diambil peran oleh Pondok-pondok Pesantren yang
ada, untuk berbenah menyambut lembaga dan santri yang berkualitas. Mengupayakan
dan mendorong pemerintah untuk tidak ‘menomer duakan’ Pondok Pesantren.
Fasilitas yang diberikan ke lembaga umum negeri haruslah sama dengan yang
diberikan kepada lembaga agama (swasta), sehingga persainganpun bisa seimbang.
Promosi Pondok Pesantren, haruslah gencar oleh lembaga (yayasan) ataupun
dibantu oleh pemerintah dalam hal ini (Kementerian Agama). Menjelaskan kepada
masyarakat tentang sisi-sisi baik sebuah pendidikan di Pondok Pesantren. Bukan
malah menjauhi lembaga Pondok Pesantren, malahan nanti kita akan terkena
‘adzab’ dari Allah SWT karena memandang Pondok Pesantren (Agama) adalah nomor
dua. Kalau pendidikan Umum (Dunia) kita prioritaskan, makanya jangan salahkan
kalau banyak anak-anak kita jauh dari Agama. Karena tempat mendapatkan ilmu
Agama hanya dari Khutbah Jum’at, Pendidikan Agama yang 1-2 jam sekali seminggu
di sekolah mereka, di keluarga malah orang tua mereka tidak memahami Agama, lalu kemana mereka mendapatkan
itu semua? Kalau tidak di Pondok Pesantren.
Pondok
Pesantren mempunyai tradisi sendiri, yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga
di luar Pesantren. Kedisiplinan, kemandirian, persahabata, ketaatan, kesopanan,
kebersamaan, kesederhanaan hanya bisa kita temukan di lembaga sejenis Pondok
Pesantren. Para santri selalu dibimbing 24 jam oleh mudabbir/mudarris/murobbi
mereka, baik di dalam kelas, ataupun di asrama mereka masing-masing. Merasa
cukup dengan kepunyaan sendiri, tidak boleh berlebih-lebihan dengan cara
pembatasan pakaian (tanpa perhiasan) yang harus di bawa ke asrama, jadwal
makan, mandi, bersih-bersih halaman, sekolah dan mengaji serta sholat membuat
mereka terlatih menjadi orang-orang yang disiplin tinggi. Jauh dari orang tua,
keluarga dan tidak boleh pacaran, menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang
mandiri dan berpendirian kuat. sistem wathonan dan sorogan membuat mereka
selalu dibimbing oleh para asatidz dan asatidzah mereka. Bersama-sama dalam
berjama’ah, baik makan, tidur, mandi, membersihkan halaman, dan sholat lima
waktu sekaligus sunnah-sunnahnya membuat para santri menjadi pribadi yang
selalu bersama-sama dalam persahabatan yang kuat.
Dari
itu, penulis dalam beberapa kesempatan ke depan ingin mengangkat masalah
pendidikan Pondok Pesantren yang mungkin belum kita pahami, baik dari sisi
teori maupun pengalaman. Alhamdulillah penulis semenjak Tingkat Pertama (MTs)
sampai pendidikan tinggi Magister (S.2) mendapatkannya di Pondok Pesantren.
Dari itu saya akan membagi pengalaman itu, sebagai rujukan kita dalam memilih
Pondok Pesantren untuk memasukkan putra-putri kita. Dan dari teori, tulisan
saya ini adalah Tesis saat mengambil gelar Strata Dua (S.2) Bidang Manajemen
Pendidikan Islam di Situbondo Jawa Timur pada tahun 2010 dengan judul tesis, “Peran
Kyai dalam Peningkatan Prestasi non Akademik (Studi Kasus di Pondok
Pesantren Nurul Amien Desa Dumberejo Kecamatan Sumbermalang Kabupaten Situbondo
Provinsi Jawa Timur).
Islam
dianugrahkan oleh Allah sebagai agama rahmatan
lilalamin, yang dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan
dunia dan akhirat, bagi umat manusia pemeluk agama itu sendiri apabila
dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan cara sungguh-sungguh.
Karena sifatnya yang universal itulah maka, Islam menjadi agama dakwah, artinya
agama yang menugaskan umatnya untuk menyebar luaskan dan menyiarkan kepada
seluruh umat manusia, dimanapun kita
berada.
Materi
dakwah yang mungkin sering kita ikuti dan dengarkan selama ini adalah mendorong
kita untuk meningkatkan kesalehan bersifat personal yang meliputi ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, puasa,
tadarrus, shalawat dan mempelajari agama Islam. Dengan ke-universal-annya Islam
juga banyak mendakwahkan / mengajarkan / mendidik ummatnya untuk saleh sosial. Bahkan Islam tidak hanya kepada manusia kita saling
hormati juga kepada alam. Kita lihat Firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat
41, “Telah
tampak kerusakan di
darat dan di laut
disebabkan perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka,
supaya mereka kembali (ke
jalan yang benar)”.
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan bertujuan untuk membudayakan
manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia dimana manusia itu
sendiri adalah pribadi yang utuh dan
kompleks sehingga sulit dipelajari secara tuntas. Karenanya
pendidikan tidak akan pernah selesai, sebab pemahaman terhadap hakekat manusia
itu sendiri senantiasa berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan. Sesuai
dengan yang dikemukan oleh Emmanual Kant dalam bukunya Zuhairini, Filasafat Pendidikan Islam bahwa : "Manusia dapat menjadi manusia
karena pendidikan". Oleh karena itu perkembangan manusia mengikuti
perkembangan zamannya, sudah barang tentu tidak akan pernah lepas dengan apa
yang dinamakan ilmu pengetahuan. Pengetahun ini hanya diajarkan oleh Allah
kepada mahkluk yang namanya manusia. Seiring dengan hal yang di atas Al-Qur'an
sebagai petunjuk bagi perjalanan hidup manusia telah memberikan konsep dasar
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui baca tulis.
Pada masa pembangunan dewasa ini, tujuan pemerintah Republik Indonesia
salah satunya adalah pembangunan dibidang pendidikan, seperti yang dicantumkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab XIII pasa 31 yaitu : "Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % anggaran pendapat
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Tujuan ini
diperjelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang isinya yaitu: "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab".
Pendidikan di negara kita pada saat ini diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan
sehingga nantinya dapat memiliki pengetahuan yang luas. Untuk itu diperlukan
upaya baik oleh sekolah, orang tua maupun siswa sendiri. Menurut Ki Hadjar, dalam bukunya Ki
Supriyoko, Mengembalikan Roh Pendidikan bahwa, pendidikan yang dilaksanakan
dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan suasana
kekeluargaan itu disebut dengan sistem among.
Selanjutnya para pendidik yang
bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong. Guru atau Dosen bahkan Kyai tidak dibatasi waktu dan tempat
dalam mendidik siswa / santri sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi
hari, siang hari, sore hari, petang hari bahkan malam hari pun, seorang guru,
dosen atau kyai harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa / santrinya.
Peran kyai dalam kegiatan pembangunan mental
masyarakat tersebut, memang sangat menarik bukan lantaran pemimpin agama
mempunyai predikat pewaris para nabi melainkan karena pada kenyataannya ia
merupakan manusia biasa yang benar-benar
utuh yang berperan luas sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan
moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan
masyarakat. Konflik dalam masyarakat akan menyebabkan aneka perubahan sosial Kyai pun
mengalami pergeseran peran. Dari peran spesifik keagamaan menjadi general
kemasyarakatan, dan menjadi kunci setiap pokok persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat lingkungannya bahkan di luar lingkungan kyai tersebut berada. Dari
persoalan pendidikan, ekonomi, sosial bahkan persoalan ataupun terlibat langsung
dengan urusan politik.
Kyai
itu bukan cendikiawan yang seperti -ditamsilkan Arif Budiman- berumah di angin.
Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam prihidup kyai,
tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Yahya C. Staquf, dalam “Dekadensi Politik
Kyai” , menulis, bahwa melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era
Walisanga, sosok kyai hadir terutama sebagai misionaris. Dalam perkembangan kiprahnya Muhammad Muhibbuddin, dalam
“Kyai dan Do’a Restu Politik” menulis, kyai beserta para pengikutnya membangun
komunitas tersendiri yang independen –oleh Gus Dur digambarkan sebagai
subkultur- dimana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi
kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkas-lumus
duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari dan sering harus mengonsolidasikan
mereka untuk “menghadapi dunia luar”.
Kyai
berdasar pada paradigma semiotika-strukturalisme Saussure, kata kyai adalah
penanda (signifier) yang
merepresentasikan makna (petanda / signified)
tentang seorang yang alim dan cendikia dalam keilmuan keagamaan. Dari sisi
semangat keilmuannya itu, seorang kyai adalah seorang intlektual atau
cendikiawan. Sebagai seorang intelektual, tanggung jawab moral utama para kyai
adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang
mereka miliki.
Dengan
keilmuannya itu, disimbolikkan sebagai lentera yang menerangi masyarakat.
Perannya dimasyarakat diharapkan mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan
(darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai sendi kehidupan.
Di sinilah wujud pencerahan tersebut kyai membentuk lembaga-lembaga pencerahan
atau pendidikan seperti madrasah-madrasah atau pondok-pondok pesantren. Dengan ciri demikian, dalam dinamikanya, pesantren
dipandang mempunyai identitas tersendiri yang, oleh Abdurrahman Wahid atau
lebih akrab dipanggil Gus Dur, diistilahkan dengan sub kultur. Memang secara
jujur harus diakui bahwa ada suatu “tradisi” tertentu yang tumbuh berkembang
dimasyarakat pesantren, namun tidak demikian keadaannya di masyarakat luar
pesantren.
Pesantren memang sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai institusi keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan yang
cocok dengan kondisi budaya bangsa kita. Oleh karena itu sangat wajar, bila
kemudian pesantren banyak dilirik untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan
alternatif dalam menghadapi kebutuhan upaya merumuskan sistem perguruan
nasional yang tidak tercabut dari akar historis keindonesiaan dan tidak
berkurang efisiensi dan efektifitasnya. Dan seorang Kyai adalah pemimpin,
memimpin lembaga seperti madrasah atau pesantren untuk lembaga dakwah dan
pendidikan guna melakukan pencerahan dalam hal ilmu pengetahuan untuk syi’ar
Islam ke depan, untuk membentengi generasi-generasi Islam umat Nabi Muhammad
SAW ini selanjutnya.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama, Alumni Ponpes
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar