Musthofa Umar
Bismillahirrrahmanirrahim..
Hidup
kita ada dua hubungan, yakni hablum min Allah (hubungan kita dengan
Allah) dan hablum min an-nas (hubungan kita dengan manusia). Kadang ada
yang menyebutnya dengan Hubungan Vertikal dan hubungan Horizontal. Nah kepada
Allah tentu hubungan kita bisa terlihat dari enam (6) pondasi hubungan kita,
yang selajutnya disebut Rukun Iman. Rukun Iman adalah keyakinan dan kepercayaan
kita kepada Allah SWT, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Nabi dan Rosul
utusanNya, hari Qiyamat dan Taqdir Baik serta Buruk hanya dari Allah SWT.
Kemantapan
hati (yakin) akan enam (6) perkara ini merupakan kemantapan hubungan kita
dengan Allah SWT. Selama kita meyakini Allah SWT tentu kita juga akan yakin
dengan penciptaan dan ketetapan yang lainnya. Untuk mencapai keyakinan atau
keimanan yang mantap, butuh proses panjang. Adapun proses pertama yang harus
kita lalui adalah, menjadi Islam terlebih dahulu. Islam adalah agama yang
dibawa Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dan tidak ada Nabi setelahnya, yang
merubah peradaban Jahiliyyah (bodoh) menuju peradaban yang luhur,
berbudaya dan beradab yakni membawa pemeluknya menjadi selamat. Karena adal
kata Islam adalah salama (keselamatan).
Iman
dan Islam sangatlah berbeda, kalau ditanya mana yang terlebih dahulu? Maka
jawabannya adalah Islam terlebih dahulu. Islam mungkin mayoritas kita
memeluknya, namun Iman belum tentu kita semua adalah termasuk orang-orang
beriman. Islam belum tentu beriman, namun sebaliknya Iman sudah tentu Islam.
sehingga beberapa syarat untuk melakukan amaliah ibadah sehari-hari syaratnya
Iman, dan tidak disyaratkan Islam saja. Contoh amaliah ibadah yang kita lakukan
saat ini yakni puasa Ramdhan. Dalam dalil naqli puasa itu, ayat
183 surat al-Baqarah adalah mensyaratkan
Iman. Sebagaimana difirmankan Allah SWT, yaa ayyuhalladzii na-amanu kutiba
‘alaykumushshiyamu kama kutiba ‘alalladzi namingqoblikum la’allakum tattaquun (Hai
orang-orang yang beriman telah ditetapkan (wajib) atas kamu
berpuasa, sebagaimana yang ditetapkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertaqwa).
Jadi
amanu (beriman) adalah syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang
hendak berpuasa. Artinya Islam saja tidak cukup untuk melakukan ibadah yang
satu ini. sehingga banyak orang Islam yang tidak berpuasa, walaupun memang
agama Islam dalam salah satu rukunnya adalah Puasa. Dikatakan Islam apabila
melakukan rukun-rukun yang terdapat dalam Islam itu sendiri, dan rukun salah
satunya adalah melakukan perintah puasa dalam bulan Ramdhan. Akan tetapi untuk
melakukan puasa sendiri, harus ada tambahan iman (amanu) tadi. Karena di
awal surat al-Baqarah pada ayat 2-3 Allah SWT sudah menjelaskan, hanya
orang-orang yang berimanlah yang mendapat petunjuk taqwa itu. Dan tujuan kita dipuasakan Allah SWT adalah
untuk menjadi orang-orang yang taqwa, seperti akhir surat al-Baqarah ayat 183
di atas.
Nah
bagaimana dengan hablum min an-nas (hubungan dengan manusia)? Puasa,
dikatakan adalah lebih kepada hubungan dengan manusia. Ini terlihat dari
indikator keberhasilan puasa itu sendiri berpatok pada hubungan kita dengan
manusia yang lainnya. Hubungan kita dengan saudara, tetangga, orang tua, guru
maupun orang lain diluar agama kita (kafir zimmy dan musyrik). Karena Islam
adalah rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi sekalian alam). Sedangkan
manusia sendiri adalah pemimpin, kita semua adalah lahir dengan ‘beban’ amanah
sebagai pemimpin. Dan setiap kepemimpinan kita nanti akan dimintai pertanggung
jawabannya oleh Allah SWT. Apa yang kita pimpin? Tentu alam dan isinya, Islam
yang harus memberi keteduhan (rahmat) bagi alam, adalah manusia yang
menjalankannya, terutama umat Islam. bagaimana sikap dia dengan lingkungan,
flora, fauna, udara, tanah, air dan manusia sekitarnya.
Manusia
Islam (muslim) harus mampu merawat, memelihara, menjaga dan melestarikan isi
alam yang luas ini agar bisa dinikmati oleh generasi-generasi selajutnya. Dan
kalau ada manusia yang merusak alam, mereka secara langsung telah merusak nilai
kepemimpinan mereka sendiri, mereka telah keluar dari kodrat mereka dilahirkan
bumi oleh Allah SWT, seperti dialog Allah SWT dengan Malaikat, Syetan dan Iblis
yang tertuang dalam al-Baqarah ayat 30-31, saat Allah SWT akan menciptakan
manusia pertama yakni Nabi Adam As dan ditempatkan sementara di Syurga, sebelum
diturunkan ke Bumi untuk menjadi pemimpinnya.
Puasa
dan empat rukun Islam lebih dikatakan adalah rukun yang berhubungan dengan
manusia sebagai indikator
keberhasilannya. Syahadat (kesaksian), dikatakan sah apabila
disaksikan oleh manusia yang lain, sholat juga bertujuan untuk mencegah kita
dari berbuat keji dan munkar. Zakat juga begitu, harus disalurkan pada sesama
manusia, puasa yang kita jalani saat ini tidak jauh beda, indikator
keberhasilan (pahala) puasa adalah berbuat baik dengan manusia. Dan haji ke baitullah
di Mekkah-Madinah pun adalah syaratnya manusia yang lain, artinya tetangga
tidak ada yang kelaparan, keluarga tidak ada yang kekurangan sandang dan
pangannya baru orang tersebut dikatakan mampu (istito’ah) untuk
melakukan ibadah haji.
Jadi
puasa dalam pelaksanaannya, adalah imsyak (menahan) dari yang
membatalkan puasa itu sendiri dan pahala puasanya. Yang membatalkan puasa, bisa
kita lakukan mulai dari terbit fajar samapai terbenamnya matahari, waktu
berbuka. Yakni dengan menjaga diri dari tidak makan, minum (atau memasukkan
sesuatu ke tujuh (7) lubang), dan berhubungan dengan pasangan (halal) kita di
siang hari bulan Ramadhan termasuk muntah dengan sengaja. Namun hal-hal yang
membatalkan pahala puasa ini bisa sebulan penuh, siang dan malam. Dan pada
perkara inilah tempat beratnya puasa, karena apabil kita tidak mampu menahan
diri, maka bisa jadi pahala ibadah kita tidak ada. supaya pahala kita ada,
ibadah puasa kita tidak jadi sia-sia, maka perlu diperhatikan hal-hal yang bisa
membuat ‘batalnya’ pahala kita, sehingga ‘ganjaran’ Allah dengan Taqwa itu kita
dapatkan.
Dan
yang membatalkan pahala puasa ini, adalah berkaitan erat dengan manusia yang
lain. Misalnya menggunjing, memfitnah, berbohong, berpikiran negatif pada
orang, iri, dengki, hasud, adu domba, provokator, menjelekkan orang lain,
menghina, membuat sakit hati orang, mencuri, merampok dan apa saja yang
kaitannya dengan orang lain maka itu bisa membatalkan pahala puasa kita.
Sehingga kesimpulannya, puasa adalah ukurannya diterima atau tidak oleh Allah
SWT yakni bisa diterima oleh sesama atau hablum min an-nas (hubungan
dengan manusia) kita tambah baik. Tetangga, saudara, orang tua, guru dan teman
yang lain bisa menerima kita dengan tidak ada tapinya. Tambah sabar, tidak
pernah membuat sakit hatinya, tambah jujur dan selalu empati, simpati pada
manusia yang lain. Ini menjadikan manusia tersebut kembali fitrah (kejadian
asli) sebagai pemimpin, pengayom, pember teduh (rahmat) pada sekalian alam. Wallohua’lamu
bishhowab.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama
Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar